Kita tahu bahwa Konsep multikulturalisme dalam artikel kali ini yaitu tidak dapat kita samakan dengan konsep-konsep keanekaragaman suku bangsa yang ada atau kebudayaan yang sudah menjadi salah satu ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme itu sendiri menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi bagi orang Indonesia saat ini, multikulturalisme adalah sebuah konsep asing. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk. Hal ini karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Ulasan mengenai multikulturalisme juga mengulas berbagal permasalahan politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, serta tingkat dan mutu produktivitas.
Jika kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropa Barat sampai dengan Perang Dunia ll, masyarakat-masyarakatnya hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri.
Di Amerika Serikat, berbagai gejolak untuk menyamakan hak bagi golongan minoritas, yaitu kulit hitam dan kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950-an. Puncak gejoIak tersebut adalah pada tahun 1960-an, yaitu dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap orang kulit hitam dan berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan hak-hak sipil, dan dilanjutkannya perjuangan hak-hak sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu golongan terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan kulit putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (Suparlan, 1999).
Di tahun 1970-an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan karena corak kebudayaan kulit putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dengan corak kebudayaan orang kulit hitam, orang Indian atau pribumi Amerika, serta dari berbagai kebudayaan bangsa dan suku bangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang diedit oleh Reed (1997). Upaya-upaya yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang prodemokrasi dan HAM, serta orang yang antirasisme dan diskriminasi adalah menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah pada tahun 1970-an.
Bahkan, anak-anak Cina, Meksiko, dari berbagai golongan suku bangsa lainnya, dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto, 1992). Jadi, jika Glazer (1997) mengatakan bahwa apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970-an.
Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri, terpisah dari ideologi-ideologi lainnya, multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan memahaminya dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Upaya memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahil yang mempunyai perhatian iImiah yang sama tentang multikultutralisme, sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, serta hak budaya komunitas (Fay, 1996; Rex, 1985; dan Suparlan, 2002).