Dengan begitu banyaknya suku di Indonesia ini merupakan PR bagi pemerintah untuk bisa menyatukan semuanya jangan sampai terjadi lagi konflik-konflik serupa yang terjadi terulang lagi.
Diantara timbulnya konflik tersebut adalah adanya kecemburuan sosial yang terjadi, kenapa ini bisa terjadi karena kurangnya perhatian dari pemerintah, pemerataan dalam pembangunan menjadi salah satu upaya yang harus di kedepankan guna menjaga kesatuan dan persatuan bangsa ini.
Cita-cita reformasi yang sekarang ini tampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya, ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu dengan mengaktifkan model multikulturalisme untuk melakukannya dilaksanakan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Jika pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multicultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dan struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada dalam nilai-nilai budaya, etos budaya, dan etika, pembenahan dalam hukum, dan penegakan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional serta berbagai corak dinamikanya.
Upaya ini dapat dimulal dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dan pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
Upaya-upaya tersebut di atas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan jika pemerintah tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidakinginan mengubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat diberantas.
Dalam masyarakat Indonesia, setiap suku bangsa secara turun-temurun mempunyai dan menempati wilayah hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya di mana warga masyarakat suku bangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.
Masyarakat majemuk seperti Indonesia, tidak hanya beraneka ragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan suku bangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial politiknya (Suparlan, 1979). Tanpa disadari, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan mayoritas dan minoritas, sebagaimana yang terwujud dalam berbagai interaksi, baik interaksi secara individual maupun secara kategorikal, pada tingkat nasional (seperti posisi orang Cina yang minoritas dibandingkan dengan pribumi) maupun pada tingkat masyarakat lokal (seperti posisi orang Sakai yang minoritas dibandingkan dengan posisi orang Melayu yang dominan di Riau) (Suparlan, 1995).
Penekanan dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, pada keanekaragaman suku bangsa telah menghasilkan adanya potensi konflik antar suku bangsa dan antara pemerintah dengan suatu masyarakat suku bangsa.
Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada, bersamaan dengan keberadaan coraknya yang majemuk. Sumber dari pèrmasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah wilayah kedaulatan dan kekuasaan system nasional atau pemerintah pusat.
Pertanyaan mengenai siapa yang paling berhak atas sumber-sumber daya tersebut, yaitu sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah hak ulayat setiap masyarakat suku bangsa. Indonesia sebagai sebuah masyarakat dan bangsa secara de jure dan de facto baru ada setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 atau lebih muda dibandingkan dengan keberadaan masyarakat-masyarakat suku bangsa dan wilayah-wilayah hak ulayat mereka. Oleh karena ¡tu, pemertintahan nasional berada dalam posisi yang dipertanyakan mengenai keabsahannya dalam mengambil alih dan memonopoli sumber-sumber daya yang ada dalam hak ulayat masyarakat-masyarakat suku bangsa. Dalam hal ini hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat-masyarakat suku bangsa menjadi permasalahan yang kritikal dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jati diri suku bangsa sebagai sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar. Kemudian muncul dalam interaksi sosial menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas di antara sesama anggota suku bangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka.
Dampak Iebih lanjut dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat suku bangsa setempat berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyal buntut perlakuan sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat suku bangsa setempat terhadap berbagai golongan tersebut di atas berupa tindakan-tindakan diskriminasi.
Diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial terhadap masyarakat minoritas, misalnya keturunan Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional dengan kesukubangsaan Cina yang asing dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumber daya.