Berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi, dan kecakapan politik yang dimiliki, orientasi warga negara terhadap kehidupan politik memengaruhi penggolongannya ke dalam kebudayaan politik. Suatu model budaya politik tertentu tidak dapat dihubungkan secara kasar dengan sistem politik, apalagi hal itu menyangkut budaya politik yang lingkupnya luas, terutama bila subkultur disertakan.
Agar diperoleh pendekatan dan gambaran yang relatif tepat mengenai orientasi individu terhadap budaya politik, perlu dikumpulkan informasi mengenai objek pokok orientasi politik. Adapun objek-objek orientasi politik tersebut meliputi keterlibatan seseorang terhadap sistem politik secara keseluruhan, proses masukan, dan diri sendiri.
1. Berbagai Pendapat mengenai Budaya Politik di Indonesia
Secara umum, terdapat tiga macam budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yaitu budaya politik tradisional, budaya politik Islam, dan budaya politik modern.
a. Budaya politik tradisional
Budaya politik tradisional ialah budaya politik yang mengedepankan satu budaya dari etnis tertentu yang ada di Indonesia. Sebagai contoh budaya politik yang berangkat dari paham masyarakat Jawa.
Budaya politik tradisional juga ditandai oleh hubungan yang bersifat patron-klien, seperti hubungan antara tuan dan pelayannya. Budaya politik semacam ini masih cukup kuat di beberapa daerah, khususnya dalam masyarakat etnis yang sangat konservatif. Masyarakat tradisional seperti ini biasanya berafi liasi pada partai-partai sekuler (bukan partai agama).
b. Budaya politik Islam
Budaya politik Islam adalah budaya politik yang lebih mendasarkan idenya pada suatu keyakinan dan nilai agama Islam. Islam di Indonesia menjadi agama mayoritas. Karenanya, Indonesia menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Hal tersebut menjadikan Islam sebagai salah satu budaya politik yang cukup mewarnai kebudayaan politik di Indonesia. Orientasi budaya politik yang mendasarkan pada nilai agama Islam mulai tampak sejak para pendiri bangsa membangun negeri ini.
Budaya politik Islam biasanya dipelopori oleh kelompok santri. Kelompok ini identik dengan pendidikan pesantren atau sekolah-sekolah Islam. Kelompok masyarakat Islam terdiri dari dua kelompok, yaitu tradisional dan modern. Kelompok tradisional biasanya diwakili oleh masyarakat santri yang berasal dari organisasi NU (Nahdlatul Ulama). Sementara kelompok
modern diwakili oleh masyarakat santri dari organisasi Muhammadiyah. Perbedaan karakter Islam ini juga turut melahirkan perbedaan pilihan politik. Ini membuat budaya politik Islam menjadi tidak satu warna.
c. Budaya politik modern
Budaya politik modern adalah budaya politik yang mencoba meninggalkan karakter etnis tertentu atau latar belakang agama tertentu. Pada masa pemerintahan Orde Baru, dikembangkan budaya politik modern yang dimaksudkan untuk tidak mengedepankan budaya etnis atau agama tertentu. Pada masa pemerintahan ini, ada dua tujuan yang ingin dicapai yakni stabilitas keamanan dan kemajuan.
Seperti halnya budaya politik Islam, budaya politik modern juga bersifat kuat dan berpengaruh. Di dalamnya terdapat beragam subkultur seperti kelompok birokrat, intelektual, dan militer. Nyatanya hanya ada dua kelompok (birokrat dan militer) yang paling berpengaruh dalam pembuatan kebijakan pada masa Orde Baru.
Menurut antropolog berkebangsaan Amerika, Clifford Geertz ada tiga macam budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yaitu:
a. Budaya politik abangan
Budaya politik abangan adalah budaya politik masyarakat yang menekankan aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap adanya roh halus yang dapat memengaruhi hidup manusia. Tradisi selamatan merupakan ciri khas masyarakat ini. Upacara selamatan dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu manusia.
b. Budaya politik santri
Budaya politik santri adalah budaya politik masyarakat yang menekankan aspek-aspek keagamaan, khususnya agama Islam. Masyarakat santri biasanya diidentikkan dengan kelompok yang sudah menjalankan ibadah atau ritual agama Islam. Pendidikan masyarakat santri ditempuh melalui lembaga pendidikan yang ada dalam pondok pesantren, madrasah, atau masjid. Pekerjaan masyarakat ini biasanya pedagang.
c. Budaya politik priyayi
Budaya politik priyayi adalah budaya politik masyarakat yang menekankan keluhuran tradisi. Priyayi adalah masyarakat kelas atas atau aristokrat. Pekerjaan kaum priyayi biasanya adalah para birokrat, yaitu bekerja sebagai pegawai pemerintah.
Almond dan Verba mengklasifi kasikan tipe-tipe budaya politik menjadi tiga. Ketiga budaya politik tersebut yaitu budaya politik parokial, subjek, dan partisipasi.
a. Budaya politik parokial
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana. Ciri khas budaya politik parokial yaitu:
1) spesialisasi masih sangat kecil sehingga pelaku-pelaku politik memiliki kekhususan tugas,
2) satu peranan dilakukan bersama dengan peranan yang lain seperti aktivitas dan peranan pelaku politik dilakukan bersama dengan peranannya baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun keagamaan.
b. Budaya politik subjek
Dalam budaya politik subjek, warga negara memiliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politik. Hal ini berarti bahwa masyarakat dengan tipe budaya politik ini telah menyadari otoritas pemerintahan. Namun demikian posisi sebagai subjek (kawula) mereka dipandang sebagai posisi yang positif. Biasanya, sikap-sikap seperti ini timbul diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu, seperti proses kolonialisasi dan kediktatoran.
c. Budaya politik partisipan
Masyarakat dengan budaya politik partisipan memiliki orientasi politik yang ditujukan kepada sistem politik secara keseluruhan, struktur politik, dan administratif.