Keindahan alam di Kanglam selama musim semi tersohor sekali, apapula, di bulan ketiga, di saat rumput-rumput tinggi dan bunga-bunga mekar permai serta burung-burung ngoceh tak hentinya. Terutama mentakjubkan ialah untuk mereka yang belum pernah menginjak wilayah Selatan itu. Demikian sudah terjadi dengan seorang muda, yang usianya kurang lebih dua puluh tahun, air muka siapa nampak seperti ke kanak-kanakan begitu pula tingkah polahnya. Berada di sebuah tanjakan bukit, ia bergembira sekali, matanya memandang kelilingan, tangannya saban-saban digerak-geraki dan kakinya kadang-kadang berjingkrakan. Seorang diri dia berkata bagaikan berseru: “Pantaslah ketika tuan tua masih ada di Sakya, setiap hari dia memikiri untuk pulang ke kampung halamannya, kiranya Kanglam ini sungguh-sungguh suatu tempat yang indah! Ya, Kanglam indah, Kanglam, indah sekali!”
Di belakang anak muda ini ada mengintil serombongan bocah, mengintil sembari tertawa haha-hihi. Salah satu bocah, yang paling besar, lantas menunjuk hidungnya sambil berkata-kata dengan suaranya yang berlagu: “Tidak tahu malu, tidak tahu malu! Tikus tua terjatuh ke dalam timbangan, dia memuji-muji dirinya sendiri!”
“Hai, kurang ajar!” berseru pemuda kekanak-kanakan itu, romannya dibikin gusar. “Hai, setan cilik, mengapa kau mengatai aku tikus tua?”
“Bukankah tidak keruan-keruan kau memuji dirimu sendiri?” si bocah membaliki.
“Barusan kau sendiri yang membilang ‘Kanglam indah! Kanglam indah!’ Tak sudahnya! Dengan memuji diri sendiri, apakah kau bukan si tikus tua yang jatuh ke dalam timbangan?”
Anak muda itu tertawa.
“Kalau begitu, kamu keliru mengerti!” katanya. “Aku hanya memuji bahwa tempatmu ini, wilayah Kanglam, indah sekali, aku bukan maksudkan diriku! Tapi, aku sendiri, aku si Kang Lam, juga bukannya buruk!…”
Anak-anak itu lantas pada mengawasi.
Pemuda ini, yang belum pernah menginjak wilayah Kanglam, bernama Kang Lam. Nama wilayah Kanglam dan namanya, Kang Lam, semua hurufnya sama dan sama juga suara bacanya, karena itu, terjadilah salah mengerti di antara bocah-bocah itu. Kang Lam memuji Kanglam, tetapi bocah itu mengira Kanglam ialah Kang Lam. Ialah Kang Lam si bocah yang kita kenal dalam cerita “Peng Tjoan Thian Lie” atau “Bidadari dari Sungai Es”. Karena ia adalah kacungnya Tan Thian Oe putera dari Tan Teng Kie.
Tan Teng Kie berpangkat soanwiesoe, atau amban, pembesar untuk suku bangsa, di Sakya, Tibet. Sebenarnya pangkat itu pangkat dalam pembuangan, dan pangkat itu ia jabat selama lebih daripada sepuluh tahun. Kemudian, karena berjasa dalam hal menyambut guci emas dan ditolong oleh satu menteri, yang mengajukan permohonan keampunan baginya, oleh raja ia dipanggil pulang ke kota raja untuk memegang kembali kedudukannya sebagai giesoe atau censor. Dua tahun ia menjabat pula pangkatnya ini, lantas ia meletakinya dan pulang ke kampung halamannya. Ia menggunai alasan sudah berusia lanjut sedang sebenarnya, tidak bisa ia melihati suasana busuk di dalam pemerintahan. Kampung halamannya itu ialah dusun Boktok, letaknya kira-kira lima atau enam puluh lie dari kota Souwtjioe, Kangsouw, dan rumahnya menghadapi telaga Thay Ouw yang tersohor indah panoramanya.
Sekarang ini kedudukannya Kang Lam beda daripada kedudukannya tadinya. Mulanya ia menjadi kacung tukang melayani majikan mudanya, Thian Oe. Nama Kang Lam itu diberikan majikannya, Teng Kie, untuk memperingati wilayah kampung halamannya, Kanglam. Ia telah berjasa dalam hal membawa surat majikannya ke kota raja, maka itu, Teng Kie telah mengambil ia sebagai gietjoe, yaitu anak pungut, hingga ia tak lagi menjadi kacung. Hanya, lantaran ia sederhana dan tidak bertingkah, sifatnya tidak berubah. Demikian ketika ia turut “majikannya” pulang ke Kanglam —— baru dua bulan ia tiba di Boktok —— ia gemar bergaul sama bocah-bocah sekampung, hingga mereka menjadi sahabat-sahabat erat.
Sembari tertawa Kang Lam lantas membagi-bagi kembang gula kepada kawan-kawan bocah itu, yang menerimanya dengan gembira.
“Nah, bagaimana kamu lihat!” katanya tertawa pula. “Aku si Kang Lam, aku tidak buruk, bukan?”
Bocah-bocah itu tidak menggoda lagi.
“Kang Lam baik! Kang Lam baik!” mereka bahkan memuji, terus mereka bersorak-sorai.
“Eh, mari aku tanya kau!” kemudian tiba-tiba Kang Lam menanya. “Di dalam kampung kamu ini ada atau tidak seorang nona yang gemar meniup terompet huchia?”
Ditanya begitu, anak-anak itu menjadi gembira sekali. Anak yang besaran, dengan mengejek, lantas tertawa haha-hihi dan berkata: “Lihat, lihat! Engko Kang Lam lagi memikirkan si nona manis!”
“Hus, jangan ngaco!” membentak si anak muda. “Aku menanya benar-benar! Kamu kasih tahu pada aku, besok aku pergi ke kota Souwtjioe, nanti aku belikan kembang gula!”
Anak-anak itu lantas saja mengilar. Hanya mereka bingung dengan pertanyaan itu.
“Apa itu huchia? Huchia itu barang apa?” demikian mereka pada menanya.
“Itulah terompet yang terbuat dari daun,” Kang Lam menerangkan sambil memetakan.
“Kalau ditiup, terompet itu bersuara nyaring dan tajam.”
Anak-anak itu tetap tidak mengerti. Inilah tidak heran karena huchia itu ada terompet istimewa suku bangsa di luar perbatasan, umpama bangsa Tartar, dan anak-anak di Kanglam belum pernah melihat atau mendengarnya. Hanya karena disebutnya nona yang meniup huchia, mereka lantas menyebutkan beberapa nama dari nona-nona yang suka meniup seruling!
Kang Lam masgul berbareng lucu.
“Aneh!” katanya di dalam hatinya. “Taruh kata benar aku salah mendengar tetapi kongtjoe tidak mungkin! Tadi malam terang-terang kita mendengar suara terompet huchia itu!”
Dengan “kongtjoe” itu, Kang Lam maksudkan majikannya yang muda, Thian Oe.
Justeru ketika itu, dari kejauhan ada terdengar suara terompet mengalun, agaknya tajam dan menyayatkan. Anak-anak itu pun turut mendapat dengar, maka mereka pada memasang kuping.
Kang Lam adalah yang perhatiannya paling tertarik. Itulah suara huchia —— tidak salah lagi! Maka melupakan kawan-kawannya itu, ia lari ke arah tanjakan dari mana suara itu datang terbawa angin. Ia berlari-lari. Anak-anak itu lari menyusul. Hingga mereka melihat datangnya dua penunggang kuda.
“Engko Kang Lam!” memanggil seorang bocah, yang besaran. “Jangan ganggu mereka itu! Merekalah tukang-tukang pukulnya Ong Loo Houw!”
Sudah kira-kira dua bulan Kang Lam tinggal di tempat kediamannya ini, ia tahu Ong Loo Houw itu ialah seorang okpa atau jago untuk kecamatan Gouwkoan, bahkan katanya dia pun, menjadi hiotjoe atau ketua dari sebuah perkumpulan. Ia tidak takut Ong Loo Houw apa pula baru dua tukang pukulnya. Ia memang ada anak jenaka dan berani, berandalan juga. Ia pun melihat dua orang itu rupanya lagi mencari si peniup huchia itu!
Di matanya Kang Lam, tanah pegunungan di sekitar kota Souwtjioe ini dipandang seperti tumpukan-tumpukan tanah saja, maka itu, lari belum lama, ia sudah sampai di kaki bukit. Tentu sekali, ia tidak mengarah kedua tukang pukul itu hanya si nona peniup huchia.
Malam tadi kira jam tiga, Kang Lam bersama kongtjoe-nya, yang sekarang menjadi kakak angkatnya itu, yaitu Tan Thian Oe, tengah membicarakan pelbagai pengalaman mereka di Sakya tatkala kuping mereka mendengar suara huchia, sebentar nyata, sebentar lenyap. Mulanya Kang Lam menduga kepada Kim Sie Ie si pengemis kusta, atau Toktjioe Hongkay, si Pengemis Edan Berbisa, tetapi Thian Oe menyangka kepada seorang nona. Sangkaan Thian Oe ini didasarkan tekukannya irama seruling itu. Kang Lam hendak keluar malam-malam, guna mencari peniup huchia itu, tetapi Thian Oe mencegah karena kuatir ayah mereka kaget. Inilah sebabnya maka besokannya, Kang Lam lantas pergi mencari nona itu hingga ia digerembengi banyak bocah kawan-kawannya itu.
Segera juga terlihat si nona peniup huchia itu dan dia benarlah orang yang dikejar si kedua penunggang kuda, hanya muka nona itu tidak dapat terlihat. Si nona mengenai cala hitam. Tepat Kang Lam tiba di kaki bukit, ketiga orang itu melintas di hadapannya, bahkan salah satu tukang pukul itu, yang tertawa menyeringai, mendadak menyerang si nona dengan bandring gaetan!
Dengan melihat tampangnya saja, hebat serangannya si tukang pukul itu. Dia pun percaya betul, sambarannya akan mengenakan sasarannya. Hanya selagi dia menyambar itu, telinganya mendengar tertawa jenaka hihi-hihi, lantas dia merasakan tangannya sakit bagaikan dipotong, menyusul mana sendirinya dia terguling roboh dari atas kudanya!
Itulah iseng tangannya Kang Lam! Ketika bandring ditimpukkan, ia menyambar itu untuk terus ia lilitkan kepada pohon di dekatnya, karena si penunggang kuda kabur terus, dia tertarik tertahan bandringnya sendiri, tangannya terasa sangat nyeri, hingga sedetik itu, habislah tenaganya dan sebab tubuhnya turut terbetot, dia roboh seketika!
Kagetlah si kawan, lantas dia menahan kudanya, untuk berlompat turun, guna menghampirkan kawannya itu, untuk dipimpin bangun.
Lantas tukang pukul yang roboh itu berkaok-kaok saking mendongkolnya, matanya melotot terhadap Kang Lam.
Anak muda itu tertawa.
“Eh, kenapa kau marah-marah terhadapku?” ia menegur. “Kau terguling sendiri, ada apa sangkutannya itu dengan aku? Siapa suruh kau membandring pohon? Memangnya pohon itu bermusuh denganmu? Hm! Hm! Kau mencaci siapa ya?”
Kawan yang tidak roboh itu agaknya sabar.
“Jangan!” ia membujuk kawannya seraya terus ia berpaling kepada si anak muda dan menanya: “Sahabat, kau sahabat dari golongan mana?”
Kang Lam menggeleng kepala, ia tertawa.
“Aku tidak kenal kamu!” katanya lucu. “Siapa mempunyai hubungan keuangan denganmu?” Sengaja ia berlagak tuli, orang menyebut “golongan” (sian), ia mengartikan “tjian” (uang). Ia sarukan “sian” dengan “tjian”.
“He, binatang cilik, kau benar-benar tolol atau kau berpura-pura saja?” orang itu membentak. “Kau tahu tidak kami ialah sebawahannya Ong Hiotjoe dari Hayyang Pang?”
“Aku tidak tahu!” menjawab Kang Lam. Ia tidak menggubris orang menyebut-nyebut nama partainya —— Hayyang Pang, atau partai Laut Samudera.
“Habis, kau tahu atau tidak aturan kaum kangouw?” membentak pula tukang pukul itu. “Ini anak perempuan ada orang dari lain tempat, dia asing, dia tidak ketahuan asal-usulnya, maka itu Ong Hiotjoe hendak menawannya, untuk memeriksa dia! Nah, mengapa kau menghalang-halangi kami?”
“Ah, inilah aneh!” kata si anak muda. “Ong Hiotjoe itu makhluk apa? Apakah dia sama besar pangkatnya dengan seorang wedana? Aku pernah bertemu dengan tidak sedikit orang berpangkat akan tetapi aku belum pernah mendengar ada pangkat hiotjoe itu! Pula belum pernah aku mendengar soal oleh karena orang tidak terang asal-usulnya dia lantas dihajar dan mau ditangkap untuk diperiksa!”
“Hm!” berseru si tukang pukul sangat mendelu. “Kau sebenarnya makhluk campur baur asal mana?”
Kang Lam tidak memperdulikan cacian itu.
“Aku juga asal lain daerah, apakah hiotjoe kamu mau menangkap aku untuk diperiksa?” ia tanya, mengejek.
“Sudahlah!” membentak si tukang pukul, yang tadi terguling dari kudanya. “Terang-terang bocah ini tengah mempermainkan kita! Jikalau dia tidak dikasih rasa, dia tidak tahu keliehayan kita! Jangan layani dia ngaco belo! Mari maju!”
“Hai, kamu terlalu!” membentak Kang Lam. “Sudah kamu mengatakan aku binatang cilik, sekarang kamu mengatakan juga makhluk campur baur! Biarnya satu taytianghoe, dia tidak dapat menahan sabar lagi! Kau lihatlah… tanganku!”
Kata-kata “lihatlah… tanganku!” dilagukan sebagai juga seorang peran dari sandiwara Peking lagi beraksi, sudah mulutnya bergerak, berirama, juga kaki dan tangannya turut digerak-geraki. Melihat itu kawanan bocah, yang telah menyusul, pada gelak tertawa.
Dua tukang pukul itu gusar bukan kepalang, dua-duanya lantas turun tangan. Ialah yang satu menampar muka, yang lain menjambret lengan. Tapi dua-dua mereka tidak memperoleh hasil, sebaliknya, dengan suara plak-plok dua kali yang keras dan nyaring, mereka menjadi gelagapan, sebab di luar sangka mereka, tangannya si anak muda telah mampir di pipi mereka! Pula hebat gaplokan itu, sampai mereka pusing.
Kawanan bocah itu heran tetapi mereka bersorak.
Dipermainkan begitu, kedua tukang pukul itu menjadi penasaran sekali. Dengan lantas keduanya maju pula, untuk mengulangi serangan mereka. Sebenarnya mereka mesti menginsyafi yang mereka bukan lawan si “binatang cilik atau makhluk campur baur” itu tetapi mereka melupakan itu.
Kang Lam mendak ketika ia diserbu berbareng, sambil berkelit, ia menyambar tangan baju mereka itu, terus ditarik dengan keras, maka mereka itu jadi saling tubruk, tangan mereka mengenai masing-masing tubuh mereka! Kembali mereka merasa kepala mereka pusing di samping tubuh mereka nyeri.
“Nah, kamu lihat!” berkata Kang Lam tertawa. “Kamu saling menghajar sendiri, dan semua itu sahabat cilik menjadi saksinya! Maka jangan kamu persalahkan aku!”
Dua orang itu mengawasi dengan mata melotot.
“Kamu mementang mata dan mengasih bangun alis kamu, kamu mau apa?” tanya Kang Lam tertawa. “Apakah kamu merasa saling gebuk kamu masih belum cukup? Apakah kamu masih ketagihan? Apakah kamu mau bertempur lagi sama aku?”
Baru sekarang kedua tukang pukul itu kuncup hatinya, mendadak saja mereka memutar tubuh untuk lari ngiprit!
Maka, ger! Ramailah tertawanya kawanan si bocah.
Tapi bukan cuma kawanan bocah itu yang tertawa ramai itu, masih ada serombongan lain, hanya mereka ini orang-orang dewasa, yang datangnya kesitu seperti tidak ketahuan. Mereka semua ada membekal pelbagai macam senjata tajam.
Mulanya Kang Lam terkejut hingga ia melengak. Ia menduga kepada kaum Hayyang Pang, yang hendak membantui dua kawannya itu. Tiba-tiba salah satunya, yang menjadi kepala, maju untuk memberi hormat sambil memuji: “Kau muda dan gagah, sungguh mengagumkan!”
Belum pernah Kang Lam mendapat pujian seperti itu, ia girang.
“Siapa bilang aku gagah?” katanya tertawa. “Orang seperti kongtjoe-ku serta beberapa sahabatnya barulah orang-orang gagah dari jaman ini!”
Orang itu berdiam, ia agaknya berpikir.
“Maaf, maaf,” katanya kemudian, lagi-lagi ia memberi hormat. “Jangan kau bicara dulu, kau biarkan aku menduga-duga siapa kongtjoe-mu itu! Ah, dapat aku membade sekarang! Dia tentulah Tan Thian Oe! Dan kau, pastilah kau Kang Lam!”
Kembali si anak muda girang sekali.
“Kau betul!” bilangnya. “Sebenarnya, bagaimana kau ketahui itu?”
“Aku dan kongtjoe-mu itu ada sahabat-sahabat untuk banyak tahun, bagaimana aku tidak tahu?” menjawab orang itu. Ia berhenti sejenak. “Beberapa sahabatnya kongtjoe-mu itu juga kenal dengan kami, dan salah satu yang persahabatannya paling erat bernama Tong Keng Thian.”
“Benar, benar!” Kang Lam memotong. “Tong Tayhiap dan kongtjoe-ku paling erat pergaulannya, melebihi saudara kandung! Aku tidak sangka ia pun sahabatmu itu! Eh, ya, masih ada seorang lain lagi. Kamu kenalkah Kim Sie Ie?”
“Kim Sie Ie? Ya, ya, tidak salah! Pernah aku bertemu dengannya beberapa kali.”
Mendengar jawaban itu, Kang Lam sangat tertarik hatinya.
“Kapankah pertemuan kamu paling belakang dengannya?” ia tanya. “Dimanakah?”
“Itulah di kaki gunung Nyenchin Dangla, selagi kami mengunjungi Tong Keng Thian, kebetulan kami bertemu dengannya. Kemudian kami berangkat ke Kanglam. Kemarin kira setengah tahun yang lalu.”
Kang Lam girang tidak terkira.
“Kalau begitu, Kim Sie Ie menjadi belum mati?”
“Usia Kim Sie Ie rada lanjut akan tetapi kesehatannya masih baik sekali,” kata pula orang itu. “Menurut penglihatanku, ia masih dapat hidup sedikitnya sepuluh tahun lagi. Mana bisa dia gampang-gampang mati?”
Kang Lam tercengang, pikirannya lantas bekerja.
“Usia Kim Sie Ie berimbang sama usia kongtjoe-ku,” pikirnya, “tahun ini paling tinggi ia baru berumur dua puluh lima tahun, kenapa dia ini membilang sudah lanjut. Kalau ia berhasil mendapatkan ilmu dalam dari Thiansan Pay hingga ia bisa menyembuhkan latihannya yang sesat, mana bisa ia hidup lagi hanya sepuluh tahun? Orang ini membilang bersahabat kekal sekali dengan Tong Keng Thian dan kenal juga dengan Kim Sie Ie, umpama kata Kim Sie Ie tidak membilanginya sendiri, mustahil Tong Keng Thian berdiam saja dan tidak memberitahukan umurnya Kim Sie Ie itu?”
Mendadak pemuda ini menjadi bercuriga. Hanya sebentar, lantas ia berpikir pula: “Mungkin juga dia ini benar. Kim Sie Ie paling pandai menyamar. Ia pernah menjadi si penderita kusta, ia pernah menyamar menjadi seorang tua bangka. Bahkan dia kenal belum lama, baru beberapa kali bertemu katanya, jadi persahabatannya masih tipis? Mungkin juga Tong Keng Thian tidak bicara banyak tentang Kim Sie Ie kepadanya. Hanya, mereka ini katanya sahabat-sahabat kekal dari kongtjoe, mengapa aku tidak kenal sekalipun satu saja di antaranya?”
Orang itu seperti dapat membade hatinya anak muda ini.
“Ketika dulu hari itu Tan Kongtjoe menyambut guci emas, kami pernah membantu dia,” ia berkata pula. “Kalau tidak salah, sampai sekarang ini peristiwa itu sudah enam atau tujuh tahun lamanya.”
“Sayang ketika itu kongtjoe tidak mengajak aku,” berkata Kang Lam. “Katanya peristiwa sangat ramai, telah datang orang-orang gagah dari empat penjuru. Kiranya kamu kenal kongtjoe di waktu itu, pantas aku tidak kenal kamu…”
Kang Lam mengawasi, ia menghitung. Rombongan itu terdiri dari tiga belas orang, nampaknya mereka bekas habis melakukan perjalanan jauh, mungkin mereka berasal perbatasan negara. Karena ini, lenyaplah sebagian dari kecurigaannya.
Orang itu berkata pula: “Kau tidak kenal kami tetapi kami telah mendengar namamu yang besar.”
Kembali si anak muda menjadi kegirangan.
“Benarkah?” katanya. “Pastilah kongtjoe yang memberitahukannya! Kongtjoe paling gemar memuji aku.”
“Tidak salah! Tan Kongtjoe bilang kaulah kacungnya yang paling dihargakan, kau pintar dan cerdik, kau pandai bekerja! Pendeknya, kau sempurna!”
Kang Lam sinting karena pujian itu.
“Eh, kamu masih belum ketahui,” katanya, “sekarang ini aku bukannya kacung lagi. Aku bersyukur kepada kongtjoe, yang menghargai aku, maka sekarang kongtjoe telah mengangkat aku menjadi saudaranya!”
Orang itu repot memberi hormatnya.
“Oh Tan Djiekongtjoe!” ujarnya. “Maaf, maaf!”
“Kamu datang dari tempat jauh, apakah kamu ingin aku membantu sesuatu untukmu?” kemudian si anak muda tanya. Karena dipanggil djiekongtjoe, yaitu kongtjoe yang kedua, ia lantas meniru sikap menghormat dari kongtjoe-nya yang halus budi pekertinya.
“Benar,” orang itu menyahut. “Kami mau minta kau tolong mengantarkan kami. Bukankah Tan Toakongtjoe ada di rumah?”
“Ada, ada, pasti ada di rumah!” sahut Kang Lam cepat. “Sebenarnya baru dua bulan kami mengiringi looya pulang ke kampung halamannya ini. Cepat sekali kamu mendapat kabar!”
Lantas pemuda ini bertindak, untuk menjadi pengantar. Tapi baru satu tindak, atau ia sudah merandak. Ia ingat suatu apa.
“Kamu tunggu sebentar!” katanya. “Eh, mana si nona peniup huchia itu?”
Rombongan orang itu pun tidak memperhatikannya, setelah mendengar perkataan si anak muda, mereka berpaling. Benarlah, disitu tidak ada si nona yang tadi dikepung-kepung dua gundalnya Ong Loo Houw.
“Mungkin nona itu kaget dan ketakutan hingga nyalinya pecah maka dia sudah lantas lari kabur,” kata orang yang menjadi kepala rombongan itu, yang tertawa. “Apakah Tan Djiekongtjoe mencari dia? Inilah gampang. Sebentar, sehabisnya menemui toakongtjoe, kami nanti berpencaran membantu mencari dia itu.”
Kang Lam heran. Ia melihat keletakan tempat yang datar, sedang di belakang sana ada sebuah bukit kecil. Kalau si nona lari ke belakang, mungkin mereka ini melihatnya, dan kalau dia lari ke depan, ia pasti mendapat tahu. Ia tahu matanya awas. Maka, kemana perginya nona itu? Mungkinkah dia mahir ilmu ringan tubuh dan telah membolos selagi barusan ia kurang perdata? Mestinya dalam sebentar saja nona itu dapat melalui belasan lie…
Karena terpaksa, anak muda ini berjalan terus. Ia diiring tiga belas orang itu. Sebenarnya ia berhati tidak tenang, tetapi di sepanjang jalan orang tak hentinya memuji padanya, ia menjadi gembira juga.
“Kamu pernah mendaki gunung Nyenchin Dangla,” katanya kemudian, “kamu pernah bertemu sama Tong Tayhiap suami isteri, maka itu, tahukah kamu kongtjoe-ku ini dengan Tong Tayhiap itu pernah sanak dekat?”
“Begitu?” kata si ketua rombongan.
“Kenapa begitu?” kata Kang Lam. “Isterinya kongtjoe-ku, jadinya Nyonya Tan, tadinya ialah pelayannya Pengtjoan Thianlie Jangan kamu memandang enteng yang dia asalnya seorang pelayan. Dia sebenarnya puterinya seorang menteri besar di dalam negara Pengtjoan Thianlie. Dia bukan saja pintar ilmu surat dan mengerti ilmu pedang, dia juga mempunyai peluru inti es Pengpok Sintan hadiah dari nona majikannya itu! Kamu tahu sendiri, peluru inti es itu hanya berada di dalam Istana Es dan di kolong langit ini tidak ada keduanya.”
Kang Lam doyan bicara semenjak masih kecil, maka juga di Sakya, hamba-hamba kantornya Tan Teng Kie memberi dia gelaran “Kang Lam si banyak bacot”. Sekarang, masuk usia dewasa, ia belum bisa buang kebiasaannya itu.
Si ketua rombongan saling lirik dengan kawan-kawannya.
“Begitu? Bagus!” katanya bersenyum.
Kang Lam melengak. Perkataan orang itu mengherankan ia. Ia tadinya hendak menegaskan ketika ia mendapat kenyataan ia sudah tiba di depan rumahnya.
Pengawal pintu, yang dipanggil Ong Kongkong, heran melihat djiekongtjoe-nya itu mengajak orang, dia lantas menghampirkan dan menanya.
“Lekas pergi mengabarkan kongtjoe!” kata si anak muda cepat. “Kau bilangi bahwa serombongan sahabatnya dari perbatasan negara datang menyambangi!”
Dalam kegembiraannya itu, tanpa memikir untuk menanti Thian Oe muncul, Kang Lam hendak mengundang rombongan itu lantas masuk ke pekarangan dalam. Atau mendadak ia menampak Thian Oe berdiri di tangga lorak dengan air muka kaget dan muram!
Si kepala rombongan lantas tertawa lebar dan berkata kepada tuan rumahnya itu: “Tan Kongtjoe, niscayalah kau tidak pernah memikirnya yang kami dapat begini lekas datang menyambangi kau?”
Thian Oe menjadi gusar sekali.
“Tio Leng Koen, kau menghendaki apa?” ia menegur.
“Kau ditunjang Tong Keng Thian, mana kita berani menghendaki apa-apa dari kau?” berkata orang yang dipanggil Tio Leng Koen itu. “Kami hanya memikir untuk minta kau mencoba-coba merasai bagaimana enaknya kalau tulang piepee-mu ditusuk dilubangi!”
Tulang piepee ialah tulang selangka di pundak.
Kang Lam menjadi sangat kaget. Itulah pembicaraan yang ia tidak sangka sekali-kali.
“Jadi kamulah musuh-musuhnya kongtjoe-ku?” ia berseru. Ia lantas berlompat untuk menyerang lehernya orang itu.
Orang yang diserang menyambut sambil menendang.
“Sungguh liehay!” Kang Lam berseru. Dalam keadaan terponggok seperti itu, ia berlompat memutar tubuh, maka tepat sekali kempolannya kena ditendang. Kalau ia ditendang dadanya, mungkin ia bercelaka.
Pastilah Kang Lam tidak kenal rombongan ini, yang dipimpin oleh Tio Leng Koen itu, ialah tjiangboendjin atau ketua partai persilatan Khongtong Pay, yang sekarang datang untuk mencari balas.
Pada enam tahun dulu, rombongan Tio Leng Koen ini sudah mengepung Loei Tjin Tjoe dari partai persilatan Boetong Pay. Pengepungan terjadi di luar kota Chalun di Tibet. Kebetulan itu waktu mereka bertemu sama Tan Thian Oe berdua Yoe Peng, mereka ini membantui Loei Tjin Tjoe. Dengan Pengpok Sintan, Yoe Peng melukai matanya Tio Leng Koen. Kemudian lagi, Tong Keng Thian juga membantui pihak Boetong Pay itu. Dengan tiga belas batang Thiansan Sinbong, senjata rahasia yang liehay, yang terbikin dari semacam rumput berujung tajam dari gunung Thiansan, Keng Thian telah melukai dua belas adik seperguruan dari Tio Leng Koen itu, yang terluka tulang selangkanya, hingga hilanglah ilmu silat mereka, sesudah mana mereka itu diusir keluar dari wilayah Tibet.
Sebenarnya siapa terlukakan tulang selangkanya, dia sukar diobati sembuh, umpama kata dia mendapat pertolongan tabib pandai, untuk kesembuhannya perlu tempo sepuluh tahun, tetapi Tio Leng Koen beramai bernasib baik, mereka telah bertemu seorang saudagar bangsa Persia, yang menjual obat penyambung luka, yaitu sioktoan yang katanya tuanya seribu tahun, maka dengan memakai obat itu, yang dibantu urutan menyambung tulang warisan Khongtong Pay, mereka berhasil sembuh dalam tempo lima tahun, dari itu, selain sembuh, ilmu silat mereka pun bertambah maju. Begitulah timbul keinginan mereka untuk menuntut balas. Untuk segera mencari Tong Keng Thian suami isteri, mereka bersangsi, maka mereka hendak mencari dulu musuh yang lebih ringan. Sungguh kebetulan, baru satu tahun mereka mencari —— dari Utara mereka menuju ke Selatan —— disini secara kebetulan mereka bertemu sama Kang Lam, hingga mereka dapat mencari Tan Thian Oe.
Ketika Kang Lam berlompat bangun habis ditendang roboh lawannya, ia mendapatkan Thian Oe sudah bertempur sama rombongan musuhnya itu, yang main mengeroyok. Maka berisiklah suara bentroknya senjata-senjata mereka.
Tan Thian Oe membela diri di undakan tangga. Ia mau mencegah orang menyerbu ke dalam rumahnya. Dengan satu tikaman ia berhasil menusuk satu musuhnya tetapi justeru itu, Tio Leng Koen kena merobek ujung bajunya.
Kang Lam tidak dapat menonton lama-lama. Ia jalan mutar lari ke dalam, guna meminta bantuan.
Tan Thian Oe gagah tetapi melayani tiga belas musuh Khongtong Pay yang tangguh itu, lama-lama ia menjadi kewalahan. Kembali ia kena ditinju Tio Leng Koen. Ia menjadi mendongkol sekali, ia lantas membalas menyerang dengan hebat. Leng Koen dapat berkelit. Celaka adalah saudaranya, yang berada di belakangnya, dia ini terpapas jeriji tangannya. Tapi Leng Koen menyerang pula, atas mana Thian Oe terhuyung. Justeru begitu, ia disusuli bacokan golok seorang musuhnya yang lain, maka pundaknya terluka dan mengeluarkan darah.
Di saat Thian Oe terancam bahaya itu, disitu terdengar cacian seorang yang suaranya dalam menandakan usianya yang sudah lanjut: “Oh, kawanan bangsat anjing…” Hanya baru sampai disitu, orang itu lantas roboh sendirinya, caciannya itu berhenti sendirinya.
Dialah Tan Teng Kie, ayahnya Thian Oe. Dia mendengar suara berisik, dia keluar. Dia mendamprat di saat anaknya terluka, karena kaget, tidak dapat diam, mendamprat terus, tidak kuat dia mempertahankan diri, maka robohlah dia, roboh sendirinya.
Tio Leng Koen tertawa nyaring.
“Kau berani mencaci aku?” katanya. “Inilah namanya pembalasan! Hayo, tusuk tulang piepee-nya tua bangka ini!”
Thian Oe tengah terluka, tidak dapat ia mempertahankan garis pembelaannya itu, maka lantas ada beberapa musuhnya yang bisa menerobos melewati ia, melewati undakan tangga, guna menyerbu ke arah ayahnya itu. Mau tidak mau, ia menjadi mencaci musuh. Ini justeru kehendaknya Leng Koen, agar musuhnya marah besar, hingga ia jadi tidak bisa berkelahi dengan betul.
Orang-orang Khongtong Pay itu telah dimaki, bukannya mereka turut menjadi gusar dan membalas, mereka malah tertawa semakin keras.
“Siapa berani mengganggu kongkong-ku?” sekonyong-konyong terdengar suara halus tetapi nyaring, yang menyebut-nyebut “kongkong”, atau mertua, lalu terus terlihat sinar-sinar berkeredepan, menyusul mana, beberapa orang yang lagi tertawa itu, suara tertawanya berhenti dengan tiba-tiba, bahkan mereka jadi kelabakan!
Itulah Yoe Peng, yang muncul dengan mendadak, yang lantas menyerang dengan Pengpok Sintan, peluru inti es. Kalau kawan-kawannya yang lagi tertawa itu terkena peluru es, tidak demikian dengan Tio Leng Koen. Dia sudah lantas menyerang, untuk membela diri.
Tio Leng Koen ketahui liehaynya peluru es, ia berdaya untuk melawannya. Ia lantas meyakinkan Bweehoa tjiam, yaitu jarum rahasia Bunga Bwee. Sekarang ini saatnya tiba, ia membela diri sambil melakukan penyerangan, yaitu sebelumnya peluru es mengenai sasarannya. Maka runtuhlah peluru yang mengarah tubuhnya, cuma terasa sedikit hawanya yang dingin, yang ia dapat lawan.
“Hahaha!” ia tertawa menantang. “Berapa banyak peluru es-mu? Apakah kau hendak meminta lagi dari Pengtjoan Thianlie?”
Memang peluru es itu Yoe Peng dapatkan dari Pengtjoan Thianlie, nona majikannya, siapa mendapatkan pula dari kedung yang ribuan tombak dalamnya. Ia membawa sama sekali seratus butir tetapi setelah lewat banyak waktu, sekarang tinggal dua puluh delapan buah. Barusan ia merabu dengan sepuluh butir, dari itu, sisanya tidak ada dua puluh butir lagi. Di lain pihak, musuh berjumlah tiga belas orang. Maka itu, ditantang musuh yang tangguh ini. Nyonya Tan Thian Oe menjadi bercekat hati. Ia memikir untuk menyimpan guna saat-saat terakhir. Karena ini, karena ia terlambat, ia pun lantas dikurung musuh-musuhnya.
Sambil berseru, Yoe Peng menghunus pedangnya, pedang Han-giok Kiam, yang terbuatnya bukan dari emas atau besi hanya dari batu kumala yang sudah terpendam ribuan tahun dalam sumber di dalam lembah. Pedang ini tidak dapat disamakan dengan pedang Pengpok Hankong Kiam dari Pengtjoan Thianlie tetapi toh bersinar terang dan berhawa dingin, siapa belum mahir ilmu tenaga dalamnya, tak dapat dia melawan hawa dinginnya itu. Begitu bergebrak, beruntun ia menggunai dua jurus —— mulanya “Banlie hoeisong” atau “Es terbang selaksa lie” dan lalu “Tjiansan lokyap” atau “Daun rontok di ribuan gunung”. Kedua jurus itu mendatangkan juga serangannya hawa dingin yang keluar dari pedang itu.
Tio Leng Koen lantas maju guna melawan nyonya ini. Dengan kebutan tangan bajunya ia membuatnya pedang tersampok.
Selagi isterinya itu menerjang, Thian Oe berlompat, guna mengundurkan musuh-musuhnya, dengan begitu ia menjadi memperoleh kesempatan akan mendekati sang isteri, untuk bertempur berdampingan. Bersama-sama, mereka menggunai Pengtjoan Kiamhoat yaitu ilmu pedang Sungai Es.
Untuk sementara, Leng Koen beramai tidak dapat mendesak. Tapi Yoe Peng masih lemah latihan tenaga dalamnya, ia tidak dapat bertahan lama. Sekarang ia cuma mengandalkan pedangnya, sedang pelurunya ia masih tahan saja. Maka itu, lama-lama ia menjadi repot juga.
Thian Oe jauh lebih unggul daripada isterinya itu akan tetapi ia telah terluka, ia juga lantas menjadi repot, napasnya sengal-sengal, peluhnya membasahkan sekujur tubuhnya. Demikian atas desakan lawan, bersama isterinya ia mesti mundur dari dua undakan tangga lorak.
Yoe Peng menikam Tio Leng Koen, ia tidak mendapat hasil, sebaliknya selagi ia menikam, satu musuh menusuk padanya, hingga ia mesti segera berkelit. Ia masih mempunyai kesebatan hingga ujung pedang lawan cuma tiba nempel di pundaknya.
Tio Leng Koen lantas berkata dengan ejekannya: “Kamu bilang, kamu menghendaki tulang selangkamu ditusuk tembus atau hanya batang lehermu yang harus dipenggal?”
Thian Oe dan Yoe Peng tidak menjawab, hanya mereka mengambil kesempatan untuk saling melirik, untuk membulatkan tekad akan melawan terus mati atau hidup. Maka itu, ketika mereka mendesak, Leng Koen kena dipaksa mundur satu tindak. Hanya sayang untuk mereka, tenaga mereka telah menyampaikan batasnya, sebentar kemudian, mereka terdesak pula hingga mereka mesti mundur melewati undakan tangga yang ketiga.
Selagi pertempuran itu berjalan hebat, sekonyong-konyong hidung Thian Oe mendapat mencium hembusan bau harum yang luar biasa. Ia menjadi heran.
“Entah dari mana datangnya harum bunga Mokwie hoa ini?” ia tanya di dalam hatinya. Selama di Tibet, pernah ia mendengar keterangannya Liong Leng Kiauw bahwa di dalam lembah es di gunung Himalaya ada tumbuh semacam bunga asioelo atau asura, dan asura itu, yang ada bahasa Sansekerta, berarti hantu atau mokwie, maka bunga asura itu disebut bunga hantu. Seorang biasa, apabila dia kena mencium bau bunga itu, dia akan tak sadarkan diri. Siapa mahir tenaga dalamnya, ia dapat bertahan sekian lama, atau ia bakal menjadi lemas sendirinya, hingga habislah ilmu silatnya. Liong Leng Kiauw pernah menjadi korban bunga itu hingga dia kena ditawan boesoe, atau pahlawan, Nepal. Maka itu, heranlah Thian Oe.
Tio Leng Koen juga sudah lantas dapat mencium bau, hanya dia tertawa dingin dan berkata: “Kiranya Tan Kongtjoe juga dapat menggunai asap pulas kaum kangouw golongan rendah! Tapi kau salah melihat! Kami mana takut dengan asap pulasmu ini!”
Justeru Leng Koen mengejek, justeru Thian Oe berteriak: “Lekas gunai Pengpok Sintan!”
Yoe Peng berlompat naik satu undakan tangga, sambil berlompat ia mengayun tangannya, menimpuk dengan peluru esnya. Ia menimpuk dengan jurus “Thianlie sanhoa” atau “Bidadari menyebar bunga”. Dengan begitu, ia menyerang jalan darah musuh.
Tio Leng Koen berlaku sebat, ia pun menyerang dengan jarum rahasianya. Ia berhasil memecahkan Pengpok Sintan, akan tetapi kesudahannya ada di luar dugaannya. Peluru inti es itu hancur terhajar jarum, pelurunya hancur, tetapi hawa dinginnya tidak buyar musnah, bahkan menjadi terlebih dingin lagi, berlipat kali kuatnya. Ia mahir tenaga dalamnya, toh ia menggigil, sedang tadi —— pertama kali ia meruntuhkan peluru es ia tidak terserang hawa dingin sehebat ini. Beberapa saudaranya sudah lantas roboh tak sadarkan diri.
“Hai, mengapa aku jadi begini tidak berguna?” tanya Leng Koen kepada dirinya sendiri. Ia tidak menginsyafi bahwa ia telah menyedot baunya bunga asura hingga jalan napasnya menjadi seperti tertutup, hingga tenaga dalamnya itu berkurang sendirinya.
Thian Oe dan Yoe Peng tidak takuti hawa dingin itu, kesatu mereka memang telah mempelajari daya melawannya menurut ajaran Pengtjoan Thianlie, kedua mereka sudah siap sedia, ialah mereka menahan napas bekerja. Bahkan ketika baik ini dipergunakan mereka untuk menerjang hebat, hingga mereka dapat mendesak akan menduduki pula undakan tangga yang tadi terampas musuh.
Tio Leng Koen dan saudara-saudaranya yang belum roboh merasakan diri mereka terancam hebat, sudah tubuh mereka menjadi lemah, mereka pun pada bergemetaran.
Lima orang telah lantas kena tertikam dan roboh seketika. Leng Koen sendiri telah terbabat dua jari tangannya. Oleh karena ini, terpaksa ia memberi tanda untuk saudara-saudaranya mengundurkan diri, siapa yang masih kuat, dia memanggul kabur saudaranya yang roboh.
Lekas juga pertempuran berhenti. Thian Oe dan Yoe Peng tidak dapat mengejar semua lawannya itu. Mereka menang tetapi mereka terbenam dalam keheranan. Itulah kemenangan yang luar biasa.
Yoe Peng mengasih masuk pedangnya ke dalam sarungnya, ia mengebut berulang-ulang dengan tangan bajunya, akan membuyarkan sisa hawa dingin, kemudian ia merobek ujung tangan bajunya, guna segera membalut luka suaminya.
“Entah orang berilmu siapa yang telah dengan cara diam-diam membantu kita,” berkata isteri ini. “Sakit atau tidak?”
“Syukur lukanya tidak mengenai tulang,” menyahut sang suami. “Tibanya harum bunga asura ini luar biasa sekali…”
Yoe Peng tidak kenal bunga itu, ia hendak menanyakan keterangan suaminya, atau ia melihat muncul Kang Lam, yang berlari berlompatan romannya ketakutan. Setibanya, bocah itu berkata: “Kongtjoe, aku telah bersalah sudah mengajak musuh-musuhmu datang kemari! Kongtjoe, kau hukumlah aku…”
Thian Oe mengerutkan kening. “Lain kali kau harus berhati-hati!” katanya. “Sekarang lekas suruh orang menyapu dan mencuci bersih tanda-tanda darah. Tentang pertempuran ini, aku larang kau omongkan kepada orang luar!”
“Baik, kongtjoe,” menyahut Kang Lam, yang tapinya lantas berdiri bagaikan terpaku, matanya mendelong ke pojok tembok pekarangan.
Yoe Peng heran, ia lantas mengawasi ke arah pandangannya Kang Lam itu. Maka di pojok tembok itu, di bawahnya sebuah pohon hoay, tampak seorang wanita muda yang mukanya tertutup cala, tangannya memegangi setangkai bunga yang sudah layu, bunganya putih dan merah. Selama di Istana Es ia pernah lihat banyak macam bunga tetapi tidak ada yang seperti ini. Hanya sejenak ia menduga: “Mungkinkah itu bunga asura?”
Nona itu nampak luar biasa. Ia duduk dengan rambut kusut dan tubuhnya menggigil. Lembaran-lembaran bunga juga belarakan di tanah di depannya itu. Ia seperti tak kuat menahan hawa dingin, hingga mungkin tubuhnya. akan menjadi beku.
“Dia! Dia!” mendadak Kang Lam berseru. Ia rupanya baru ingat. “Dialah si nona yang meniup huchia!…”
Thian Oe terkejut hingga ia mengasih dengar seruan tertahan.
Yoe Peng gesit sekali, dengan segera ia lari pada nona itu.
“Entjie, aku membilang terima kasih atas bantuanmu mengundurkan musuh,” katanya sambil ia mengeluarkan pel Yanghoo Wan, obat untuk melawan hawa dingin dari pengpok sintan. Ia bicara dengan halus dan tangannya diangsurkan ke mulut nona itu. Ia pun ingin menyingkap cala si nona, supaya nona itu dapat lantas makan obatnya itu.
Sekonyong-konyong nona tidak dikenal itu berlompat bangun sambil mulutnya memperdengarkan suara tertawa yang luar biasa, yang seperti dapat memecahkan hati, menyusul mana Yoe Peng menjerit keras dan roboh terguling sebab di dadanya tertancap sebatang anak panah pendek yang hitam bergemirlapan, gagang panah itu bergoyang-goyang…
Thian Oe kaget hingga ia tercengang.
Nona itu tertawa pula, lantas dia kata nyaring: “Barang yang aku tidak bisa dapatkan, kau juga tidak bakal mendapatkan untuk selama-lamanya!”
Thian Oe sadar, ia berlompat kepada si nona, pundak siapa ia sambar, dengan suara menggetar ia menanya: “Kau!… Kau siapa? Kenapa kau berlaku begini kejam?…” Cuma sebegitu ia bisa bilang, lantas tubuhnya roboh seraya menarik si nona hingga mereka terguling bersama!
Itulah sudah terjadi sebab Thian Oe habis bertempur keras, dia terluka lalu dia terkena bau bunga asura yang melemahkan tubuhnya, karena dia berlompat dan menggunai tenaga istimewa, habislah tenaganya.
Nona itu merobek calanya, dengan mata yang berlinangkan air, ia mengawasi Thian Oe, air mukanya menunjuk ia menangis bukan tertawa pun bukan. Ia berdiam saja.
Thian Oe pun memandang nona itu, ia kaget bagaikan ia bertemu iblis
“Kau… kau toh Shanpii?” ia menanya.
Nona itu tertawa bergelak.
“Tidak salah!” sahutnya selang sesaat. “Kau telah mengenali aku! Tunanganmu mencari padamu! Nah, mari kita pergi bersama!” Kata-kata ini diikuti dengan dihunusnya sebatang panah pendek, yang terus ditikamkan ke tenggorokan kongtjoe she Tan ini…
Kang Lam kaget, dia berlompat untuk menolongi.
Muka Thian Oe pucat.
“Dosa… dosa…” katanya perlahan. Ia menutup rapat matanya, untuk menanti kematiannya. Tapinya ia tidak tertikam panah itu, hanya kupingnya mendengar suara nancapnya… nancap di dada si nona sebagaimana ia melihatnya tatkala ia membuka matanya!
Nona itu menghela napas.
“Thian Oe, bagus…” katanya, lemah. “Kau tidak suka pergi bersama aku, bukan? Baiklah! Aku telah membunuh dia, maka itu biarlah kau seorang diri hidup bersengsara… Thian Oe, Thian Oe, mari biarkan aku mengikat pula tali sepatumu…”
Kata-katanya nona ini jadi makin lemah, tubuhnya lemah juga, sebab segera tubuh itu roboh sendirinya di depan dengkul si anak muda, kedua tangannya memegang sepatu orang…
Bukan main masgulnya Thian Oe. Nona itu ialah Shanpii, puterinya touwsoe dari Sakya. Semasa ayahnya masih menjabat soanwiesoe di Sakya, Tibet, Thian Oe telah terdesak touwsoe itu untuk menikah dengan puterinya si touwsoe. Thian Oe tidak setujui perjodohan itu, karenanya, ia buron. Perjodohan menjadi buras ketika kemudian touwsoe itu terbinasakan Chena, seorang nona Tsang. Urusan telah lewat buat banyak tahun, maka Thian Oe tidak menduga sama sekali, sekarang di kampung halamannya ini, ia telah disusul si nona. Sebenarnya Shanpii hendak membinasakan Thian Oe, di saat terakhir, ia tidak tega, tetapi karena ia sudah putus asa, ia lantas membunuh diri sendiri.
Dengan perlahan Thian Oe menyingkirkan tubuh si nona. Ia melihat tali sepatunya telah terbuka, rupanya tidak keburu diikat pula si nona, napas nona itu telah berhenti berjalan. Menurut kebiasaan bangsa Tibet, wanita mengikat tali sepatu pria berarti ia telah menyerahkan dirinya kepada pria itu. Dulu hari di kantor touwsoe, Shanpii pernah mengikat tali sepatu Thian Oe. Ketika itu Thian Oe masih belum ketahui kebiasaan bangsa Tibet itu. Shanpii tidak dapat melupakan peristiwa itu, ia tetap mau menjadi isteri Thian Oe, maka itu, ia telah mencoba akan mengikat pula tali sepatu si anak muda.1)
Thian Oe lari pada isterinya. Yoe Peng rebah dengan kedua mata merem dan mukanya sangat pucat, baju di pundaknya robek, pada pundak itu nampak tanda hitam. Panah pendek nancap di dadanya, racun panah itu melulahan ke pundak dan lengan.
Untuk sejenak, suami ini berdiri menjublak. Tiba-tiba ia mencabut pedangnya, untuk dipakai menikam lehernya sendiri
Kang Lam berada di samping kongtjoe-nya itu, menampak demikian, ia mengangkat kakinya, menendang pedang hingga terpental.
“Lihat, kongtjoe!” berkata kacung yang setia ini. “Lihat, kepala siauwnaynay masih bergerak!”
Thian Oe melengak, segera ia menoleh. Ia melihat rambut isterinya tertiup angin. Mendadak ia sadar.
“Memang, aku mesti menolongi dia!” pikirnya. Ia lantas menyuruh Kang Lam lari masuk, guna mengambil obat-obatan pemunah racun. Ia tidak berani lantas mencabut anak panah beracun itu, ia hanya mencekali erat-erat kedua tangan isterinya.
Napas Yoe Peng berjalan perlahan sekali.
Dengan lekas Kang Lam telah muncul pula dengan rupa-rupa obat. Thian Oe bekerja sebat sekali. Ia mengambil obat pulung dan obat bubuk yang isterinya bawa dari Keraton Es, ia menyekoki dan memborehkan isterinya itu, kemudian ia menguruti, supaya racunnya tertolak mundur, agar darahnya berjalan lurus.
Selang sekian lama, bibir Yoe Peng bergerak-gerak, kedua matanya pun terbuka.
Thian Oe mendekati kupingnya ke mulut isterinya itu.
“Jangan kau ganggu dia…” Itulah perkataan pertama dari Yoe Peng, suaranya sangat lemah. Tentu sekali, ia maksudkan Shanpii.
“Dia telah mati…” sahut Thian Oe berduka.
“Jangan kau membenci dia,” kata pula Yoe Peng. “Kau kubur dia sebagai juga dialah isterimu. Kalau aku mati, kau kubur aku di pinggir kuburannya!…”
Thian Oe menangis, air matanya mengalir.
“Tidak, adik Peng, kau tidak bisa mati…” katanya.
Ketika itu terdengar suara berisik dari dalam rumah.
“Looya bagaimana?” Thian Oe tanya Kang Lam. Ia baru ingat kepada ayahnya, yang tadi pingsan tetapi lekas ditolongi Kang Lam dan yang lainnya, dibawa masuk ke dalam.
“Looya kaget dan menjadi sakit karenanya,” Kang Lam menjawab.
Thian Oe pondong isterinya, untuk dibawa ke kamarnya, setelah merebahkannya, ia lari ke kamar ayahnya itu. Syukur sekali, Teng Kie cuma kaget, ia tidak kurang suatu apa. Ia hanya turut berkuatir dan berduka.
Untuk beberapa hari, Thian Oe repot tidak keruan. Ia senantiasa mendampingi isterinya. Ia tidak tahu, bagaimana harus menghalau racun panahnya Shanpii itu. Obat-obatan dari Keraton Es cuma dapat membendung menjalarnya. Maka ia terpaksa membantu dengan tenaga dalamnya, setiap pagi dan sore ia membuang tempo tiga jam untuk membantu tenaga dalam isterinya itu.
Di dalam tempo empat hari, Yoe Peng nampak mendingan, nadinya dapat jalan lebih keras, ia pun bisa menelan tajin. Tinggal saat gentingnya yang belum lewat.
Pada suatu hari isteri ini mengawasi muka suaminya, ia menghela napas.
Thian Oe letih merawat isteri dan ayahnya, ia kurang tidur dan tidak beristirahat secara teratur, romannya menjadi perok dan lesu.
“Kau menderita begini rupa, lebih baik aku mati saja,” kata isteri ini. “Obat-obatan dari Keraton Es tidak dapat menolong, maka itu mana ada tabib yang bisa menyembuhkan aku? Selama hidupku beberapa tahun ini, aku telah merasakan keberuntungan, maka kalau aku mati, aku puas…”
“Jangan pikir yang bukan-bukan!” Thian Oe kata. “Kau tidak bakal mati!”
Di mulut suami ini mengatakan demikian, hatinya sebenarnya kecil.
“Apakah kau telah selesai membuat kuburannya Shanpii?” tanya Yoe Peng.
“Sejak dua hari yang lalu aku telah menitahkan Kang Lam mengurusnya,” sahut sang suami.
“Dia kejam tetapi itu disebabkan cintanya,” berkata Yoe Peng, “maka itu jangan kau mensia-siakan dia…”
“Aku telah turut pesanmu, aku telah kubur ia dengan baik.”
“Bagus. Kalau nanti aku bertemu dia, hatiku tenang…”
“Untukku, maukah kau tidak mengucap demikian? Kau telah makan obat Keraton Es dan itu dibantu tenaga dalammu, meski sekarang kau belum sembuh, kau toh bakal sehat kembali…”
Yoe Peng bersenyum sedih.
“Setiap hari kau menghadapi orang bagaikan mayat, kau sendiri tidak bosan, aku sendiri tidak tahan…” katanya pula. Ia berhenti sebentar. “Sebegitu lama, aku ingat, belum pernah aku omong satu hal padamu. Itulah halnya Tong Keng Thian dulu hari, selama di Keraton Es. Untuk puteri yang mulia dan beberapa budaknya, ia telah membuat syair. Syair untukku ialah:
‘Lembah sunyi, gunung belukar, sinar rembulan menindih lain-lain warna. Batang peng daun teratai, suara hujan menutup suara teratai.’
Maka itu rupanya sudah selayaknya aku berdiam di dalam lembah yang sunyi dan gunung belukar. Aku telah dibawa kau ke dunia yang ramai, cuma-cuma aku membuatnya kau setiap hari mendengari saja suara hujan, untukku kau berduka selalu…”
Yoe Peng menerangkan demikian karena namanya itu —— Yoe Peng —— berarti “peng yang sunyi”. Peng itu pohon kapu-kapu, sedang Yoe ialah sunyi.
Mendengar itu sedih hatinya Thian Oe. Dalam kedukaannya itu, mendadak ia tertawa.
“Kau benar!” serunya tiba-tiba. “Kenapa aku tidak mengingatnya? Kang Lam! Kang Lam!”
“Kau ingat apa?” tanya sang isteri heran.
“Tong Keng Thian!” sahut suami itu. “Aku ingat soatlian dari Thiansan! Bukankah teratai salju dari gunung itu dapat mengobati segala macam racun? Syukur kau menyebut-nyebut nama Tong Keng Thian! Sekarang, apa lagi yang harus dikuatirkan?”
Yoe Peng tertawa sedih.
“Berapakah jauhnya letak Thiansan dari sini?” ia tanya.
“Kalau kita memakai kuda yang larinya cepat, pergi dan pulang paling juga setengah tahun!” sahut sang suami. “Selama setengah tahun itu kita nanti menanti, selama itu terus aku merawati kau, tidak nanti penyakitmu berubah buruk…”
Ketika itu Kang Lam sudah muncul. Dia datang sambil berlari-lari.
“Kang Lam, aku hendak minta dua hal dari kau!” kata sang majikan, atau saudara angkat, kepada itu kacung atau adik pungutnya.
Kang Lam kaget.
“Oh, kongtjoe!” serunya. “Kenapa kongtjoe mengucap begini? Kongtjoe baik sekali kepadaku, maka itu apabila ada sesuatu, perintahlah aku! Mengapa kongtjoe main minta? Aku nanti pergi sekalipun ke dalam air atau api, tidak nanti aku mengerutkan keningku!”
“Aku mau minta kau pergi ke Keraton Es,” berkata Thian Oe. “Disana kau minta soatlian dari Tong Keng Thian. Kau mengerti sendiri yang kau mesti lekas pergi dan cepat pulang.”
Kang Lam girang sekali meskipun ia tahu tugas itu sangat berat.
“Kongtjoe jangan kuatir, Kang Lam nanti bekerja baik untukmu!” katanya. Inilah ketikanya ia menebus dosa. Bukankah ia tidak ditegur karena ia telah membawa datang bahaya untuk majikan itu?
“Perjalanan jauh dan sukar, kau mesti berhati-hati,” pesan si majikan.
“Aku tahu. Umpama kata aku dipegat berandal, aku akan menjauhkan diri, atau aku akan melawan mati-matian!” sahutnya.
“Aku tahu, aku pun tidak kuatir. Aku tidak takut kau diganggu penjahat, kesatu kau tidak membawa harta, kedua, kepandaianmu sudah cukup untuk melayani segala berandal kelas dua atau kelas tiga. Apa yang aku mau minta ialah kau jangan menerbitkan gara-gara.”
“Baik, kongtjoe. Aku nanti berlagak tidak mengerti ilmu silat, biar orang maki dan gebuk aku, aku tidak akan melawan. Kecuali aku digebuk hingga aku tidak sanggup bertahan lagi…”
“Tidak nanti orang memaki atau menghajar kau tanpa alasan. Cukup asal kau tidak menerbitkan gara-gara.” Ia berhenti sebentar, lalu ia berkata pula: “Sekarang aku hendak minta satu lagi…”
“Titahkan saja! Aku nanti dengar kau, kongtjoe!”
“Aku menghendaki kau ingat peribahasa ‘Kalau bicara, bicaralah tiga bagian, jangan mengeluarkan seluruh isi hati.’ Di dalam dunia kangouw terdapat segala macam manusia jahat. Kau gemar ngobrol, inilah tabiatmu yang kau mesti robah!”
Mukanya si bocah menjadi merah. Itu memang penyakitnya.
“Baik, kongtjoe,” katanya. “Kalau orang tanya aku dua, aku menjawab satu, kalau orang menanya sepuluh, aku menyahuti dua, atau aku akan berlagak tuli dan gagu! Pasti aku tidak akan menggagalkan urusan, kongtjoe!”
Yoe Peng lagi sakit tetapi mendengar pembicaraan mereka itu, ia tertawa. Ia anggap Kang Lam lucu sekali.
“Sekarang aku masih berada di rumah, tidak apa aku omong beberapa kata-kata,” kata Kang Lam kemudian. “Siauwhoedjin, aku minta kau suka menenangkan diri. Setibanya aku di tengah jalan, aku akan jadi buli-buli yang mulutnya disumpal!”
Thian Oe pun bersenyum.
“Aku tahu kesetiaan kau,” bilangnya, “untuk itu, aku berterima kasih. Kau bukan lagi kacungku, maka itu lain kali jangan kau panggil kongtjoe lagi padaku.”
“Nanti saja, sepulangnya aku habis mengambil soatlian baru panggilan ini dirobah,” kata Kang Lam. “Sekarang ada pesan apa lagi, kongtjoe?”
“Tidak ada lagi kecuali di sepanjang jalan kau tolong dengar-dengar tentang Kim Sie Ie,” sahut Thian Oe.
Majikan atau saudara pungut ini lantas memberikan uang bekal tiga ratus tail perak serta mengijinkan kudanya, kuda asal Ferghana, untuk Kang Lam, kemudian setelah orang siap, ia mengantari sampai di mulut dusun.
Kang Lam mentaati pesan kongtjoe-nya, di sepanjang jalan ia tidak berani banyak omong. Setiap hari ia berangkat pagi-pagi, setiap langit sudah gelap baru ia singgah. Ia melarikan kuda sekerasnya bisa. Maka baru lima hari, ia sudah melalui seribu lie. Ia telah berpikir, dengan jalan cara demikian, tak usah sampai setengah tahun, mungkin baru empat bulan, ia akan sudah kembali. Hanya ia tidak memikir, dunia kangouw banyak sekali peristiwanya…
Di hari ke enam, seperti biasa, pagi sebelum embun kering, Kang Lam sudah mengaburkan kudanya. Tengah hari, selagi panas terik, ia mencari tempat bersinggah. Kudanya telah mandi keringat dan mulutnya berbusa. Ia sendiri sangat berdahaga. Maka itu, begitu melihat paseban di tepi jalan, ia lantas mampir. Disitu ada orang menjual teh. Setelah turun dari kudanya dan menambatnya, ia bertindak ke dalam paseban itu yang terbuat dari batu dan luas, ada dua tiang batunya serta lonengnya dari kayu merah.
“Di Tionggoan, segala apa beda,” pikir anak muda ini. “Segala paseban saja begini indah jauh lebih baik daripada rumah hartawan di Tibet…”
Tukang teh ada seorang tua, ia menyuguhkan satu cangkir air teh yang dicampuri bunga.
Kang Lam memuji setelah ia minum secegluk.
“Tempat ini apa namanya?” ia tanya kemudian.
“Inilah dusun Peng-ouw kecamatan Tongpeng koan.”
“Oh, jadi sudah wilayah Shoatang! Bukankah disini ada telaga Tongpeng Ouw?”
Tukang teh itu mengangguk.
“Apakah engko kecil pernah datang ke mari?”
Hati Kang Lam tergerak.
“Kiranya aku telah tiba di kampung halamannya…” pikirnya. Maka di batok kepalanya berbayang seorang nona, ialah Tjee Tjiang Hee anak gadisnya Yo Lioe Tjeng.
Pernah Yo Lioe Tjeng mengajak anaknya itu pergi ke Sinkiang dan Tibet mencari Tong Siauw Lan, di tengah jalan Kang Lam berkenalan sama mereka. Itulah kejadian pada kira lima tahun yang lalu.
“Setelah beberapa tahun tidak kelihatan, dia tentu telah menjadi besar dan menjadi seorang nona yang pemaluan…” pikirnya. Tjiang Hee lebih muda dua tahun, ketika ia bertemu sama Kang Lam, merekalah bocah-bocah sedang nakalnya, hanya mereka sangat cocok satu dengan lain dan Tjiang Hee telah memberitahukan kampung halamannya dan Kang Lam masih mengingatnya.
“Jikalau bukannya ada urusan penting, seharusnya aku pergi menjenguk dia,” pikir pemuda ini. Ia juga hendak menanyakan keterangan hal nona itu atau ia ingat pesan kongtjoe-nya untuk jangan banyak omong, ia lantas menguati hati akan menguasai dirinya. Maka setelah bicara beberapa kata-kata lagi, ia tunduk untuk menghirup tehnya. Ketika ia memandang ke arah kudanya, ia mendapatkan kuda itu masih mengorong. Maka itu, ia lantas mengawasi ke sekitarnya. Dengan begitu, ia menjadi mendapat lihat hal yang menarik perhatiannya. Di sebelah timur, tiang ada tanda bekas bacokan, dan di barat, pilar ada tapak tangannya. Beberapa kali ia hendak membuka mulutnya, akan menanya si tukang teh, guna minta keterangan, setiap kalinya ia menahan diri. Karena ini, bibirnya sering bergerak-gerak, ia bagaikan orang lagi sakit mulut…
Si empee tukang teh melihat kelakuan orang itu, dia menjadi heran, sembari tertawa hihi-hihi, ia menghampirkan.
“Tuan, apakah kau heran melihat tapak golok dan tapak tangan itu?” tanyanya. “Ah, hari itu, sungguh aku kaget hingga hampir aku mati…”
“Inilah dia yang bicara, bukannya aku,” pikir Kang Lam. Maka ia mengawasi orang tua itu, mengharap-harap kata-kata orang terlebih jauh.
Si penjual teh berhenti sampai disitu.
“Tuan, tehmu sudah dingin, apa kau ingin aku seduhkan yang baru?” dia tanya.
“Boleh jugalah,” Kang Lam menyahut.
“Aku memang doyan bicara,” kata si orang tua, “biasanya, orang suka dengar atau tidak, aku suka bicara sendiri. Hanya di dalam ini dua hari, oranglah yang selalu bertanya-tanya padaku.”
Kang Lam tidak kuat melawan lagi hatinya.
“Sebenarnya, kejadian bagaimanakah itu?” akhirnya ia tanya. “Lekas kau bercerita!”
Tukang teh itu tertawa pula.
“Tuan, tehmu dingin!” katanya.
Kang Lam sadar, maka ia mengeluarkan uang satu tangtjhie dan menyodorkannya.
“Ini uang teh aku bayar lebih dulu, tehnya boleh diseduh belakangan,” ia kata. “Coba kau tuturkan duduknya kejadian itu.”
“Terima kasih!” kata empee itu, yang menyambut uang untuk disimpan. Ia berlaku ayal-ayalan. “Tuan, aku lihat kau mirip dengan orang yang biasa hidup dalam dunia kangouw…”
“Tidak, kau salah lihat,” kata Kang Lam lekas. Ia ingat pesannya Thian Oe. “Aku ada satu pedagang kecil…”
Dengan memiringkan kepalanya, orang tua itu mengawasi tetamunya. Ia tertawa.
“Kalau begitu, aku salah mata,” katanya. “Baiklah, aku akan memulai. Orang-orang yang lewat disini, orang kangouw atau bukan, tentu dia sudah pernah mendengar satu nama —— ialah namanya seorang yang terkenal untuk kecamatan kami, kecamatan Tongpeng ini. Itulah kejadian pada tiga puluh tahun yang telah lampau…”
Kang Lam tertawa.
“Pada tiga puluh tahun dulu itu, aku masih belum terlahir!…” katanya. Ia berhenti dengan tiba-tiba. Ia ingat janjinya akan jangan banyak bicara. “Nah, bagaimana duduknya itu?”
“Untuk kecamatan kita ini, dialah seorang yang terkenal sekali,” kata pula si empee. “Dia pernah menjadi ketua dari ikatan kaum Rimba Persilatan lima propinsi Utara. Dia bernama… bernama…”
“Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng!” Kang Lam meneruskan.
“Benar! Maka itu juga aku bilang, kau tentunya pernah mendengarnya!” katanya si empee sangat puas, kipasnya digoyang-goyang.
“Yo Tiong Eng sudah menutup mata banyak tahun, mungkinkah kejadian ini ada hubungannya dengannya?” Kang Lam heran. Ia berhenti pula secara tiba-tiba. Ia mengaku bukan orang kangouw tetapi ia tahu hal ikhwalnya kaum kangouw…
“Memang ada hubungannya,” menyahut si tukang teh. “Tiattjiang Sintan sudah menutup mata tetapi ia mempunyai anak perempuannya, namanya…”
Kang Lam dapat menguasai dirinya, ia tidak meneruskan menyebut nama orang seperti tadi ia mendahului si empee, yang omongnya ayal-ayalan.
Orang tua itu berpikir.
“Namanya ialah Yo Lioe Tjeng…” ia meneruskan. “Sebenarnya kita tidak berani menyebutkan namanya itu, ia sendiri lebih suka orang memanggilnya Yo Toasiotjia, yaitu si nona gede. Ia telah menikah, ia sudah menjadi ibu orang, toh orang tetap memanggil ia toasiotjia…”
“Ah tua bangka ini, ayal sekali ceritanya…” pikir Kang Lam, yang menjadi tidak sabaran. Ia mencela orang sedang ia sendiri ada kalanya suka berbuat demikian.
Tukang teh itu berhenti sebentar, baru ia meneruskan: “Pada beberapa hari yang lalu Yo Toasiotjia bersama gadisnya pulang habis maybong, mereka singgah disini untuk minum teh. Eh ya, aku lupa beritahu padamu. Paseban ini dulunya dibangun dengan uang derma Yo Tiong Eng itu. Lihat itu batu hijau yang dipakai, semuanya batu pilihan. Sekarang paseban ini menjadi tempat aku mencari uang untuk hidupku, maka itu sudah seharusnya aku berterima kasih kepada keluarga Yo itu…”
Hatinya Kang Lam ketarik. Jadi baru beberapa hari yang lalu orang mampir di kedai teh ini.
“Habis bagaimana?” ia menanya.
“Ibu dan anaknya itu berbicara sama aku,” si empee melanjuti. “Yang dibicarakan ialah hal ikhwalnya Yo Tiong Eng semasa hidupnya. Lantas Yo Toasiotjia menjanjikan akan menderma pula untuk memperbaiki paseban ini…”
“Kalau begitu, itulah cerita dari kejadian hari-hari saja…”
“Tidak, tuan. Selagi kita pasang omong, ada seorang pendeta datang ke mari. Aku tengah asyik bicara, aku tidak tahu kapan datangnya pendeta itu, aku baru mendusin ketika aku melihat air muka toasiotjia berubah. Kiranya si pendeta duduk madapi dia dan matanya mengincar tajam kepada toasiotjia. Si nona anaknya toasiotjia lantas berkata: ‘Ibu, pendeta ini sesat! Kau lihat matanya!’ Mendadak toasiotjia berbangkit dan berkata padaku: ‘Ong Lootauw, untuk pasebanmu ini aku hendak meninggalkan tanda mata!’ Tahu-tahu sebatang golok terbangnya melayang!”
Baik sekali aksinya si empee, Kang Lam sampai terperanjat.
“Apakah golok terbangnya Yo Lioe Tjeng itu membinasakan si pendeta?” ia tanya.
“Tidak! Golok terbang meninggalkan tanda di tiang itu!”
“Hebat tabiatnya Yo Lioe Tjeng,” pikir si anak muda. “Kalau ada orang nikah puterinya, bagaimana harus melayani mertua seperti dia?… Tapi, golok terbangnya itu tentu dipakai mengancam pendeta itu.” Maka ia terus menanya: “Bagaimana dengan si pendeta?”
“Si pendeta tidak membilang apa-apa, habis itu dia berbangkit dan dia meninggalkan tapak tangannya itu di pilar itu…”
“Jadi itulah tapak jari si pendeta…”
“Habis berbuat begitu, dengan dingin si pendeta kata padaku: ‘Aku pun meninggalkan tanda mata kepadamu.’ Habis berkata, dia ngeloyor pergi. Toasiotjia berteriak: ‘Tunggu!’…”
“Lantas mereka bertarung?” tanya Kang Lam.
“Mereka bertengkar…”
“Apa kata mereka?”
“Mereka bicara nyerocos seperti petasan, tak mengerti aku, hanya aku duga, di antara mereka rupanya ada permusuhan. Cuma kemudian aku mendengar toasiotjia mengatakan tegas: ‘Baiklah, pasti aku menantikan di rumah untuk menerima pengajaranmu!’”
“Apakah kau dengar ada disebutkan hari atau tanggalnya?”
“Aku tidak mendengar jelas…”
Kang Lam berpikir keras: “Mestinya mereka menjanjikan hari dan waktunya. Melihat tapak tangan ini, yang dalam, si pendeta tentu liehay melebihkan Yo Lioe Tjeng. Seharusnya aku membantui itu ibu dan anak… Sayang tidak ketahuan tanggal harinya…”
Segera Kang Lam ingat pesannya Thian Oe. Segera ia ingat Tjiang Hee. Maka bingunglah ia. Itu waktu ada datang dua tetamu lain, si empee pergi melayani mereka itu. Mereka menggantung golok di pinggang mereka, agaknya mereka royal. Dengan lantas mereka melemparkan dua potong uang tangtjhie.
“Orang tua, inilah uang tehmu!” kata yang seorang.
Orang tua itu tertawa.
“Inilah terlalu banyak, mana berani aku terima…” bilangnya.
“Jangan banyak omong, lekas simpan!” kata tetamu tadi. “Aku hendak tanya kau, dalam beberapa hari ini ada atau tidak orang asing datang ke mari?”
“Ada juga seorang pendeta…”
Empee ini mau menjelaskan, atau si tetamu memotong: “Kecuali si pendeta, ada siapa lagi?”
Orang tua itu agaknya berpikir. “Tidak,” sahutnya.
“Barangkali ada yang menanya tentang keluarga Yo?”
Empee itu tertawa.
“Penduduk sini ketahui Keluarga Yo, buat apa orang main tanya-tanya lagi…”
“Hm! Nah, seduhlah teh Ietjian!”
Kedua orang itu mengambil tempat duduk di depan Kang Lam. Yang satu lantas berkata: “Aku sungguh tidak mengerti kenapa totjoe kita memandang urusan kecil ini sebagai urusan sangat besar?…”
Hati Kang Lam terkesiap. Kebetulan mereka itu mengawasi, ia mengangkat cangkir tehnya untuk dihirup.
Kedua orang itu melihat hanya seorang bocah, mereka tidak memperhatikan, hanya setelah itu, mereka bicara dalam bahasa rahasia kaum kangouw.
Kang Lam mengerti juga sedikit bahasa rahasia itu, acuh tak acuh, ia memasang kupingnya.
Kata yang seorang: “Dia hanya seorang perempuan, dia juga cuma mengandal nama besar almarhum ayahnya, berapa sukarnya menghadapi dia? Mengapa totjoe memandang urusan ini berat sekali?”
“Itulah justeru karena nama besar ayahnya itu,” kata yang lain, yang tubuhnya kurus. “Ayahnya pernah menjadi ketua ikatan kaum Rimba Persilatan di lima propinsi, karenanya, dia tentu banyak hubungannya, banyak sahabatnya. Mustahil perempuan itu tidak mengundang bala bantuan? Karena ini, aku jadi rada berkuatir untuk totjoe. Kenapa totjoe tidak mau lekas turun tangan? Bagaimana kalau sampai si pendeta mendahuluinya?”
“Kau belum tahu hasilnya kalau Keluarga Yo itu dapat dirobohkan,” kata si kawan, yang tubuhnya gemuk. “Itu artinya nama totjoe lantas naik tinggi, dia menjadi jago sendiri di Shoatang ini! Kau tahu siapa pendeta itu?”
“Tidak. Aku justeru mau menanya kau.”
“Aku tidak tahu nama atau gelarannya hanya totjoe pernah membilang, meskipun Tong Siauw Lan masih jeri terhadapnya. Lihat saja, berapa hebat tapak tangannya itu?”
“Kalau begitu, buat berurusan sama turunan Tiattjiang Sintan benar-benar tidak dapat kita memandang enteng. Nah, marilah kita pergi mengundang orang!”
Mereka lantas minum, terus mereka berangkat, yang satu ke timur, yang lain ke barat. Mereka menunggang kuda.
Hati Kang Lam menjadi tegang sendiri. Tidak dapat ia tidak membantui Keluarga Yo itu, meski ia bersangsi akan sanggup melawan si pendeta. Ia ingat pembilangannya Thian Oe bahwa siapa belajar silat, perlu dia membantu kawannya yang dalam kesusahan. Maka ia mengeringi tehnya. Ia tanya si empee di mana rumahnya keluarga Yo itu.
Tukang teh itu tertawa.
“Jitulah terkaanku!” katanya.
“Aku menduga kau tentulah hendak membantui Keluarga Yo!”
“Kenapa kau bisa membade?”
“Sebab sudah banyak sekali aku melihat orang! Begitu melihat kau, aku tahu kau bukannya orang busuk! Kalau busuk, mana kau sudi membantui pihak Yo itu? Sebenarnya, dalam beberapa hari ini sudah banyak orang yang menanyakan rumah keluarga itu dengan maksud membantu. Sebaliknya dua orang barusan, mereka mesti manusia busuk, maka itu, aku tidak suka memberi petunjuk pada mereka!”
Senang Kang Lam diangkat-angkat, maka juga ia menambah uang tehnya, setelah menanya tegas jalanan, ia berlalu dengan cepat.
Jalanan disitu rata, setelah mengawasi ke timur dan barat dengan masih melihat punggung kedua orang tadi, ia pikir: “Baik aku susul si gemuk!” Dan lantas ia mencambuk kudanya, si kuda Ferghana yang dapat lari keras. Dengan cepat ia dapat menyandak.
“Eh tadi di kedai teh kau ketinggalan barangmu!” ia teriaki orang itu setibanya ia di belakang orang.
Si gemuk menahan kudanya, ia heran.
“Barang apakah itu?” ia tanya.
“Lihat, apakah ini bukan dompetmu?” kata Kang Lam, yang membikin kuda mereka berendeng, lalu mendadak tangannya menyambar ke iga. Itulah jurus Taykimna yang pernah satu hari Tong Keng Thian mengajarinya. Tapi ia gagal, ia cuma merobek baju orang, sebaliknya ketika orang itu membalas, segera ia roboh dari kudanya.
Si gemuk itu tertawa dan kata: “Hai, setan cilik, kau berani main gila, di depanku! Benar-benar kau cari penyakitmu sendiri!”
Kang Lam rebah di tanah, matanya mendelik, ia merintih-rintih.
“Segala kantung nasi masih berani membokong tuan besarmu!” kata pula si gemuk tertawa menghina. “Kau sungguh memalukan! Lekas bilang, siapakah yang menitahkan kau berbuat begini?”
Kang Lam menyahuti tetapi suaranya tidak tegas.
“Aku cuma menotok jalan darahmu, aku tidak melukai kulitmu atau mematahkan tulangmu,” kata si gemuk itu, “kenapa kau merintih tidak keruan hingga kau tidak dapat membuka mulutmu? Hayo bicara lebih keras!”
Kang Lam tetap merintih, suaranya tetap tidak nyata.
Si gemuk menjadi gusar, dia lompat turun dari kudanya, untuk menghampirkan, guna mencekuk, atau mendadak tubuh si anak muda mencelat bangun, kedua jari tangannya bekerja, maka segera dia roboh tak berkutik lagi!
Kang Lam tertawa terbahak.
“Dibanding sama aku, ilmu totokmu masih kacek jauh!” ejeknya.
Si gemuk berdiam.
“Mau atau tidak aku mengulangi perkataan kau barusan?” Kang Lam kata tertawa. “Lekas bilang, siapakah yang menitahkan kau berbuat begini? Lekas bilang, atau aku nanti patahkan tulangmu dan keset kulitmu!”
Benar-benar bocah ini meniru aksi dan suara si gemuk tadi.
Saking mendongkol si gemuk membungkam terus.
“Baik, sekarang kau rasai dulu totokanku!” kata Kang Lam. “Sesudah kau kenyang, baru aku patahkan tulangmu dan keset kulitmu!”
Ancaman itu dibuktikan, atas mana si gemuk merasakan seperti ia digigiti banyak ular kecil, hingga ia kesakitan bukan main, hingga ia kelengar dan sadar beberapa kali, sakitnya itu seperti kulitnya dikeset dan tulangnya dipatahkan…
Kali ini Kang Lam menggunai ilmu totok ajarannya Kim Sie Ie. Ketika tadi pertama kali ia menotok iga si gemuk, ia pakai ilmu ajarannya Hong Sek Toodjin dari Khongtong Pay ketika baru-baru ini imam itu memaksa ia menjadi murid selama tujuh hari. Sedang ilmu totok Kim Sie Ie ini ada warisan dari Tokliong Tjoentjia yang liehay, suatu ilmu totok istimewa yang beda daripada ilmu totoknya lain-lain partai, sebab, meskipun liehay, ilmu totok ini gampang dipelajarinya, tak usah orang mahir ilmu tenaga dalamnya, seperti terbukti, anak muda ini dapat menggunainya.
Melihat orang bergulingan, Kang Lam menjadi tidak tega sendirinya. Ia pikir: “Dia bertabiat keras, kalau tetap dia tidak mau bicara, terpaksa aku mesti memerdekakannya… Masa aku benar-benar mengeset kulitnya dan mematahkan tulangnya?”
Justeru ia memikir begitu, justeru terdengar suara si gemuk: “Aku suka bicara!…”
“Dasar kantung nasi!” berseru Kang Lam. Tapi segera ia menambahkan: “Meskipun kau kantung nasi, sebab kau tahu selatan, kau terhitung satu laki-laki juga!”
Sikap putar balik ini dapat membuat orang tertawa, tetapi si gemuk lagi tersiksa, ia tidak ingat itu. Bahkan dia kata pula: “Tuan kecil, kau tanyalah! Sepatah kau tanya, sepatah aku menjawab…”
“Siapa memerintahkan kau pergi mengundang orang?” Kang Lam lantas menanya.
“Totjoe kami…”
“Fui!” Kang Lam membentak.
“Siapa kenal totjoe kamu itu? Sebenarnya dia she apa dan nama apa?”
“Dia Tjek Tat Sam.”
“Oh, jadinya dia tjiangboendjin dari Taysan Pay, orang kelas dua di wilayah Shoatang ini!” kata Kang Lam.
Pemuda ini hanya mengoceh. Sebenarnya ia tidak tahu halnya Taysan Pay dan tidak tahu Tat Sam liehay sampai di mana, hanya pernah ia mendengar pembicaraan di antara Tan Thian Oe dengan Siauw Tjeng Hong bahwa partai persilatan itu, meski banyak rupanya, anggautanya yang paling banyak hanya dari dua partai Siauwlim dan Boetong, yang kedua lainnya yaitu Ngobie Pay dan Tjengshia Pay, sedang Thiansan Pay, yang sedikit anggautanya, agaknya, ingin mengatasi semua partai lainnya. Karena Thiansan Pay berada jauh di Wilayah Barat dan jarang berhubungan sama partai-partai persilatan di Tionggoan, dia tidak banyak disebut. Tentang partai lainnya tidak disebut jelas, maka itu ia —— Kang Lam —— anggap Taysan Pay tidak masuk hitungan, maka ia mengatakannya Tjek Tat Sam orang kelas dua, sedang sebenarnya, untuk Shoatang, Tat Sam orang kelas satu.
Si gemuk mendongkol bukan main ketuanya dihinakan secara begitu, tetapi ia telah tertotok dan tidak berdaya, ia cuma bisa mendongkol saja.
“Sekarang bilang, siapa-siapa yang kamu telah undang?” Kang Lam tanya pula.
“Totjoe kami luas pergaulannya, banyak sekali sahabatnya, maka aku tidak tahu seluruhnya.”
“Kau bilang saja yang kau tahu.”
“Ada Pekma Touw Peng, ada Kimtoo Teng Tjit. Ada pula Poanliongkoay Khouw Tay Yoe dan Tio Tiat Han pangtjoe dari Tjinsan Pang.”
Semua nama itu belum pernah didengar Kang Lam tapi ia mengasih dengar suaranya: “Hm! Semua dari kelas tiga atau kelas empat!”
“Aku telah menjawab kau…” kata si gemuk. “Sekarang… aduh!… aduh!…”
Memang totokan Kim Sie Ie itu, makin lama makin mendatangkan rasa nyeri, maka sekarang si gemuk bermandikan keringat, mukanya meringis-ringis menahan sakit.
“Baik, sekarang pertanyaan paling akhir!” kata Kang Lam. “Kapan janji kamu dengan Keluarga Yo?”
“Malam ini!” menjawab si gemuk.
Kang Lam tertawa, terus ia menepuk punggung orang, atas mana lenyap rasa nyerinya orang itu, cuma tubuhnya masih belum dapat bangun, bahkan sekarang dia tidak dapat bicara. Karena sambil membebaskan, anak muda itu membarengi menotok urat gagunya berikut urat bekunya.
“Sekarang baik-baiklah kau tidur!” kata pula Kang Lam sambil tertawa manis. “Kau tunggu sampai aku membuat penyelidikan, setelah terbukti pengakuan kau benar semua, baru aku akan datang pula untuk membebaskanmu!”
Ia lantas mengangkat tubuh orang, buat digabruki ke tempat banyak rumput, kemudian tubuhnya diuruki, supaya orang tidak dapat melihatnya. Habis itu baru ia ngeloyor pergi sambil berpikir: “Bagus kejadian malam ini, aku jadi dapat singgah disini. Karena cuma satu hari, aku tentu tidak akan menggagalkan urusan kongtjoe…”
Ia hanya tidak memikir, bagaimana nanti duduknya kejadian. Atau bagaimana kesudahannya apabila pihaknya kalah…
Di waktu magrib, Kang Lam sampai di luar kampung Yo keetjhung yang besar, yang duduknya di pinggiran gunung, belakangnya menghadapi telaga yang airnya jernih mirip kaca rasa, pemandangannya indah.
“Pantas Tjiang Hee eilok sekali,” pikirnya.
Tidak leluasa untuk bertunggang kuda disitu, maka pemuda ini lompat turun dari kudanya yang ia membiarkannya mencari makan sendiri di tepi telaga. Kuda itu memangnya jinak, dapat dilepas tanpa ditambat lagi. Dengan berhati-hati ia mendaki bukit, agar orang tidak mempergokinya. Ia ingin menemui si nona di luar sangkaan si nona, agar nona itu kaget karenanya…
“Dia tentu tidak menyangka aku datang untuk membantui padanya,” ia ngelamun terlebih jauh. “Haha, di saat kesukaran barulah sahabat sejati terlihat tembaganya! Kang Lam memangnya satu laki-laki!”
Ia gembira sekali, hampir ia tertawa sendirinya.
Selagi enak berjalan di tempat di mana rumput tinggi hingga sedengkul, mendadak Kang Lam mendengar tindakan kaki berat di sebelah belakangnya. Ia terkejut. Segera ia mendekam, kupingnya dipasang.
“Shako, kenapa kau kena dikerjakan orang?” demikian ia dengar. Suara itu seram. “Kenapa kau kena diuruki rumput? Sungguh aku tidak percaya bocah itu demikian liehay…”
Mengenali suara orang, tahulah Kang Lam bahwa orang itu si kurus tadi di paseban tukang teh, ialah kawan si gemuk yang ia robohkan di tengah jalan. Ia hanya tidak tahu, kenapa si kurus ini dapat lekas kembali bersama kawannya itu. Ia mengangkat sedikit kepalanya, untuk mengintai ke belakang. Maka ia melihat tiga orang: Yang jalan di depan seorang bertubuh besar dan kekar, si gemuk jalan di tengah, dan si kurus di belakang. Muka si gemuk merah disebabkan pertanyaan si kurus itu. Entah siapa si tubuh besar dan kekar itu, mungkin dia kawan yang diundang si kurus, dan selagi menuju kemari, mungkin mereka mendengar rintihan si gemuk, yang mereka lantas tolongi.
“Kau jangan memandang enteng bocah itu,” kata si gemuk kemudian. “Dia liehay sekali, hebat ilmu totoknya, mungkin tak ada keduanya di kolong langit ini!”
Senang Kang Lam mendengar itu, meski ia tahu, orang mengatakan demikian untuk menutup malu. Maka ia pikir: “Tadi aku berbuat keterlaluan padanya…”
“Jadi kau takluk kepadanya?” si kurus menegaskan kawannya.
“Memangnya kalah, habis apa aku bisa bilang?” si gemuk menghela napas. “Jangan kata kita, pangtjoe sendiri mungkin bukan lawannya. Menurut dia, pangtjoe cuma dari golongan kelas dua!”
Orang yang ketiga itu, yang tubuhnya besar dan kekar, menjadi gusar sekali. Ialah Tio Tiat Han pangtjoe dari Tjinsan Pang, sahabat kekal dari Tjek Tat Sam pangtjoe dari Taysan Pang.
“Apakah bocah itu menanyakan kamu mengundang siapa-siapa?” ia tanya. “Apa kau ada menyebut-nyebut juga namaku?”
“Yang pertama aku sebutkan justeru nama kau, loodjinkee. Dia bilang… dia bilang… Ah, aku tidak berani mengatakannya…”
“Mungkin dia mencaci aku, bukan? Kalau benar, itu tidak ada hubungannya sama kau. Kau sebutkanlah!”
“Dia mencaci pun tidak, hanya dia bilang loodjinkee dari kelas tiga atau kelas empat…”
“Hm!” Tio Tiat Han menjadi gusar. “Kalau aku bertemu dia, aku nanti patahkan tulang-tulangnya, aku nanti keset kulitnya!”
Justeru itu Kang Lam tertawa tanpa tertahan lagi. Ia anggap si gemuk sangat lucu.
“Nah, itu dianya!” seru si gemuk.
“Nanti aku lihat kau dari kelas berapa!” berseru si tubuh besar, yang segera mencelat. Benar dia bertubuh besar tetapi dia gesit sekali. Segera dia sampai di depan si anak muda dan tinjunya lantas melayang!
Kang Lam berkelit, ia tertawa, dengan tangannya ia menangkis. “Apakah kau tidak takut ilmu totokku yang di kolong langit ini tanpa lawan?” ia tanya jenaka. Tapi ia kecele, sebab ketika tangan mereka benterok, ia tidak berhasil menotok, bahkan sebaliknya, ia merasai tangannya sakit. Untuk lima propinsi Utara, Tiat Han bukan sembarang orang. Ia berhenti ketawa dan menyeringai.
Si kurus lantas bersenyum. Tapi si gemuk kata: “Dia belum mengeluarkan kepandaiannya. Lihat, dia dapat melayani Tio Pangtjoe sampai tiga puluh jurus! Kau sendiri, mana kau mampu!”
Dipadu dengan Tio Tiat Han, Kang Lam kalah jauh, hanya benar, ilmu silatnya campur baur, ada ajarannya Kim Sie Ie, ada ajarannya Tong Keng Thian dan Tan Thian Oe, tubuhnya pun gesit, sedang di waktu bergebrak, Tiat Han berlaku waspada sekali, dia jeri untuk ilmu totok yang disombongkan si gemuk itu. Begitu, dalam sepuluh jurus dia masih tidak berani mendesak, dia selalu menjaga agar si anak muda tidak dapat merapati padanya.
Setelah sampai ke jurus tiga puluh, baru Tiat Han merasa aneh.
“Bocah ini cuma pantas menjadi muridku,” pikirnya, “hanya jurusnya aneh-aneh dan lincahnya luar biasa, melebihi guruku. Kenapa begini?”
Meski ia berpikir demikian dan merasa pasti ia tidak bakal kalah, ia toh tetap waspada, hanya selewatnya itu, ia jadi tertawa sendirinya. Jurusnya Kang Lam adalah itu-itu juga, yang diulangi pergi pulang. Maka sekarang ia pikir, “Rupanya bocah ini mencuri ilmu silat dari sana-sini…”
Sekarang barulah Tiat Han menyerang hebat, tangan kirinya dengan ilmu silat Soetpay tjioe, tangan kanannya dengan Kimkong koen, kedua tangannya keras bagaikan besi, kuda-kudanya tegar.
Kang Lam kaget sekali.
“Celaka?” pikirnya. Ia insyaf bahwa rahasianya sudah terbuka. Selagi ia sadar, kedua tangan Tiat Han mengurung padanya. Lekas-lekas ia membebaskan diri dengan jurus ajarannya Thian Oe, jurus “Wankiong siahouw” atau “Menarik busur memanah harimau”. Ia bergerak dengan baik tetapi ia kalah tenaga, tidak dapat ia melawan tenaga lawannya ini.
“Kau lihat kepandaianku si kelas tiga!” kata Tiat Han tertawa. Dengan tangan kirinya ia menekan kedua tangan si bocah, tangan kanannya dipakai menyekek ke tonggorokan.
“He, kenapa dia tidak mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa?” si kurus mengejek si gemuk.
Urat-urat jidatnya Kang Lam pada keluar. Ia mengerahkan tenaganya tanpa berhasil, kerongkongannya pun macet hingga ia tidak dapat bersuara…
“Kau berlutut dan mengangguk kepadaku tiga kali hingga kepalamu terdengar nyaring!” kata Tiat Han tertawa menghina. “Kau pun memanggil ayah padaku, nanti aku lepaskan padamu! Kau mau atau tidak?”
“Aku mempunyai hanya satu ayah, kalau aku panggil dia ayah, aku menghina ibuku,” pikir Kang Lam. “Tidak, inilah tidak bisa!” Maka ia menggelengkan kepaIa.
Tiat Han menggunai tenaganya lebih keras.
Kang Lam merasa napasnya mau putus tetapi ia membandel.
Di saat sangat berbahaya untuk si anak muda, mendadak Tio Tiat Han berseru aneh, terus lidahnya diulur keluar, tangan kanannya masih mencekek leher orang tetapi tenaganya sudah kendor. Karena itu, si anak muda lantas dapat bernapas pula.
Selagi Kang Lam bingung, lidah Tiat Han terulur pula dan rambutnya juga pada terlepas buyar, hingga dia mirip setan gantung diri. Jadi bukan dia mencekek si anak muda, adalah si anak muda yang seperti mencekek dia.
“He, kau bikin apa?” Kang Lam tanya. “Apa kau kira aku kena ditakut-takuti?”
Ia mengatakan tidak takut, sebenarnya ia jerih.
Si kurus kaget, dia mengira Kang Lam menggunai kepandaiannya, dalam takutnya, dia lantas lari, diturut si gemuk!
Tiat Han berseru pula, kali ini lepaslah cekalannya, maka tubuhnya lantas roboh terkapar di tanah, dari mulutnya, hidungnya, kupingnya, semua keluar darah mukanya pucat bagaikan mayat.
“Oh, ibu!” seru Kang Lam, yang pun kaget, hingga ia turut roboh.
Bocah ini bermimpi luar biasa. Ia merasakan tubuhnya melayang-layang di udara, matanya melihat tak kehitung banyaknya iblis-iblis berkepala kerbau dan bermuka kuda. Ia menjerit tapi suaranya tidak keluar. Dalam takutnya ia pikir tentulah setan-setan yang mati menggantung diri hendak membetot nyawanya. Tidak lama, lenyaplah segala iblis itu, lalu kupingnya mendengar suara yang ia kenal baik sekali: “Jangan bingung, jangan bingung, hari ini aku akan membuat kau menjadi enghiong yang namanya tersohor di empat penjuru lautan!” Kupingnya terus mendengar suara angin mendesir, tubuhnya seperti naik ke udara, ke dalam mega atau kabut, atau mendadak dia merasa jatuh dari udara itu. Lantas segala apa sunyi-senyap…
“Ah, tempat apakah ini?” ia tanya dirinya ketika ia mencoba membuka matanya. Ia lantas merasa tubuhnya seperti terjepit papan hingga ia tidak dapat bergerak, sedang matanya tersorot api dari dua jurusan. Ia berdiam, ia menetapi hati. Ia lantas mulai sadar, tapi ia heran tidak terkira. Kiranya ia berada di atas papan pian-gok, tubuhnya diam bagaikan bekas ditotok.
Pian-gok itu berada di dalam sebuah ruang besar di mana teratur beberapa puluh meja persegi, di atas setiap meja ada dua poci araknya. Ia heran hingga ia menyangka masih bermimpi. Hingga ia mau percaya Giamloo Ong, atau Raja Akherat, mengundang ia berpesta. Ia bagaikan disadarkan ketika kupingnya mendengar nyaring tapi halus: “Ibu, malam ini persiapan hebat sekali! Apakah bakal ada banyak orang yang datang?”
Kang Lam melengak. Itulah suaranya nona Tjee Tjiang Hee, yang muncul bersama ibunya. Ia menggigit lidahnya, ia merasa sakit. Jadinya ia bukan lagi bermimpi. Maka heranlah ia! Siapa membawa ia masuk ke ruang ini dan diletaki di atas papan merek ruang itu? Ia menjadi bingung.
“Ah, anak, kau tidak tahu tahu langit tinggi dan bumi tebal…” kata Yo Lioe Tjeng, si ibu. “Malam ini ialah malam pesta Hongboen Hwee! Apakah kau kira kau bakal minum arak pengantin?”
“Apakah ayah mengundang banyak orang untuk membantui kita?” si anak dara tanya.
“Yang diundang bukannya sedikit, yang datang baru sepuluh,” menjawab sang ibu.
“Pihak sana, ibu?”
“Telah diterima tiga puluh empat lembar kartu nama, maka menurut aturan, yang datang mestinya tiga puluh empat orang. Coba kau hitung lagi, benarkah meja berjumlah dua puluh empat buah?”
“Benar, dua puluh empat buah. Setiap meja untuk dua orang, kita bertiga memakai satu meja lain, jadi masih ada dua meja yang kosong.”
“Ya, yang dua itu disediakan untuk tetamu yang tidak diundang.”
“Bukankah jumlah mereka dua kali lebih banyak daripada pihak kita?”
“Demikianlah hangat dan dinginnya persahabatan…” kata sang ibu menghela napas. “Coba kakek luarmu masih hidup, biar yang tidak diundang juga, pasti dia datang! Lihat pian-gok itu!”
Kang Lam kaget. Ia mengira si nyonya melihat padanya.
“Kau tahu, pian-gok itu ialah ketika kakek luarmu berulang tahun yang ke enam puluh, hadiah dari seratus dua puluh empat orang gagah di lima propinsi Utara. Empat hurufnya yang berair emas itu, yaitu Boe Lim Sek Bong, pujian untuk kakekmu itu, yang dipuji sebagai orang gagah kenamaan. Hingga sekarang ini, tiga puluh tahun telah lewat. Apa benar pepatah yang membilang, dalam tiga puluh tahun itu, keletakan tanah berputar?”
Yo Lioe Tjeng memikiri penghidupan manusia, yang dapat berubah, jadi dia bukannya dapat melihat si anak muda.
“Biarnya jumlah kita lebih sedikit, tidak dapat kita menghilangkan nama besar kakek luar!” berkata si nona, bersemangat.
“Itulah pasti! Kapannya ibumu pernah menyerah kalah?”
“Ibu, orang macam apa itu hweeshio yang menantang kita?” kemudian Tjiang Hee tanya, perihal si pendeta.
“Pendeta liar itu aku melainkan ketahui nama asalnya yaitu Tjek Ho Tjiang. Dia muridnya Taylek Sinmo Sat Thian Touw.”
“Taylek Sinmo si Iblis Sakti?” mengulangi Tjiang Hee. “Ah, rasanya aku mengenal baik nama itu… Bukankah ayah pernah membilang bahwa dialah si iblis yang setingkat dengan kakek luar? Bukankah dia telah menutup mata?”
“Benar. Bahkan dari sekalian muridnya tinggal ini satu Tjek Ho Tjiang. Taylek Sinmo Sat Thian Touw mempunyai satu saudara kembar yaitu Sat Thian Tjie gelar Patpek Sinmo si Iblis Sakti Bertangan Delapan, dia juga mempunyai tinggal satu murid.”
“Bukankah dialah Tang Tay Tjeng yang juga menjadi hweeshio? Pada tiga puluh tahun dulu itu, dia juga telah dihajar patah sebelah tangannya oleh kakek luar dan ketika pergi mencari Paman Tong di Thiansan, kita juga menemukannya. Aku mengerti sekarang, Tjek Ho Tjiang ini datang untuk membalaskan sakit hatinya kakak seperguruannya itu.”
“Ketika kita menemuinya itu, jikalau bukan dicegah Phang Lim, tentulah aku telah hajar picak matanya! Tang Thay Tjeng sendiri tidak berani datang menuntut balas, sekarang Tjek Ho Tjiang yang menggantikannya, tidakkah ini lucu?”
Kang Lam mendengar itu, di dalam hatinya ia kata: “Ah, ini Bibi Yo jauh terlebih bisa meniup kerbau daripada aku!”
Dulu hari itu, Yo Lioe Tieng bertemu sama Tang Thay Tjeng di sebuah rumah makan di tepi jalan, dengan sebelah tangannya, Thay Tjeng melayani sintan atau peluru “sakti” dari si nyonya. Ketika, itu Kang Lam telah dapat menyaksikan pertempuran itu. Kalau tidak Phang Lim tiba pada saatnya yang tepat, mungkin Nyonya Yo itu roboh di tangannya Thay Tjeng. Kang Lam juga kata di dalam hatinya: “Mana bisa Tang Thay Tjeng datang untuk mencari balas lagi? Pasti tidak bisa kecuali dia merayap keluar dari dalam peti matinya!… Eh, ketika dia mati, peti mati pun dia tidak mempunyai, maka itu, kecuali dia merayap keluar dari dalam sungai es…”
Dulu hari itu Tang Thay Tjeng membuat perjalanan bersama Tjek Sin Tjoe, seorang iblis lain, pergi mendaki puncak Cholmo Lungma di pegunungan Himalaya untuk mencari apa yang dinamakan “rumput dewa”, hanya belum lagi dia dapat melihat puncak kesohor itu, dia telah mati kedinginan di dalam sungai es. Tentang ini Kang Lam mengetahuinya dari penuturan Tan Thian Oe kepadanya. Ketika itu yang mendaki puncak terhitung juga Tong Keng Thian dan Kim Sie Ie, bahkan di itu waktulah yang Kim Sie Ie lenyap. Tentang kejadian itu, Yo Lioe Tjeng dan gadisnya tidak mendapat tahu.2)
“Ibu, rupanya kau lupa,” berkata Tjiang Hee. “Bukankah ketika itu Bibi Phang telah membilang bahwa ia telah melarang Tang Thay Tjeng menuntut balas pula? Hanya yang aneh, mengapa adik seperguruannya, si hweeshio ini, tidak mendapat tahu larangannya Bibi Phang itu? Mungkinkah kakak seperguruannya tidak membilanginya? Tapi kita jangan takut! Umpama kata kita kalah, Bibi Phang tentulah akan membalaskan sakit hati kita ini!
“Anak Hee,” berkata ibu itu, “andaikata aku terbinasa, aku larang kau meminta bantuannya Phang Lim. Kami Keluarga Yo, kami belum pernah menghendaki lain orang mengasihaninya, juga kami belum pernah memohon pertolongan kepada lain orang!”
Ada sebabnya mengapa Yo Lioe Tjeng mengatakan begini kepada puterinya itu. Itulah karena ia tidak akur dengan Phang Lim, dan Phang Lim bukan baru satu kali pernah menggodai ianya. Tentu sekali sebab itu tidak dapat ia menjelaskan kepada puterinya. Duduknya hal ialah pada tiga puluh tahun dulu itu Yo Lioe Tjeng adalah tunangannya Tong Siauw Lan akan tetapi Siauw Lan justeru menyintai Phang Eng, kakaknya Phang Lim, karena mana, Phang Lim suka sekali menjaili padanya.
Selagi ibu dan anak itu bicara, seorang bujang datang mewartakan bahwa tetamu sudah datang.
“Pergi kau minta looya menyambut mereka,” berkata Yo Lioe Tjeng.
Bujang itu mengundurkan diri.
Tidak lama disitu terlihat munculnya seorang berumur kira-kira lima puluh tahun dengan alisnya gombiok, matanya besar, dan dadanya lebar. Dia diiring sejumlah orang. Dialah Tjee Sek Kioe, suaminya Yo Lioe Tjeng, serta tetamu-tetamu yang bersedia memberikan bantuannya. Sebagai suami, dia takut isteri, akan tetapi walaupun dia beroman kasar, dia sedikit bicara. Demikian dengan singkat dia memerintahkan: “Pentang pintu besar! Sambutlah mereka sebagai tetamu-tetamu yang terhormat!” Dia tidak seperti isterinya, yang kemendongkolan atau kemurkaannya terutara pada wajahnya.
Begitu lekas pintu telah terpentang maka terdengarlah tertawa besar dari seorang hweeshio atau pendeta, yang membuka tindakannya untuk masuk ke dalam.
“Silahkan!” berkata Sek Kioe.
“Aku menghaturkan diperbanyak terima kasih, taysoe!” Yo Lioe Tjeng berkata. “Dengan taysoe datang meramaikan, dengan berkumpulnya banyak orang gagah, sungguh inilah suatu kehormatan besar untuk kami!”
Tjek Ho Tjiang si pendeta tertawa nyaring.
“Dan pihak kamu dari lima propinsi Utara, kamu pun hampir hadir semuanya!” berkata ia. “Sungguh beruntung, sungguh beruntung aku dengan pertemuan kita ini!”
Begitulah, belum apa-apanya, kedua pihak sudah terlebih dulu mengadu bicara. Yo Lioe Tjeng agaknya bicara hormat tetapi sebenarnya ia mengejek pihak musuhnya datang dalam jumlah yang besar luar biasa itu. Dengan kata-katanya itu Tjek Ho Tjiang di satu pihak, mengangkat mengejek nyonya rumah, di lain pihak ia menunjuk kehormatannya kepada kawan-kawannya tuan dan nyonya rumah itu dengan siapa ia tidak ingin menanam bibit permusuhan.
Maksudnya Tjek Ho Tjiang dengan kedatangannya ini adalah dua. Pertama-tama untuk menyaterukan Yo Lioe Tjeng. Yang kedua ialah —— dengan jalan tidak langsung ini —— guna, mengangkat keponakannya, yaitu Tjek Tat Sam, yang menjadi pangtjoe atau ketua dari Taysan Pang, menjadi kepala ikatan dari kaum Rimba Persilatan di lima propinsi Utara. Kawannya Yo Lioe Tjeng itu sedikit tetapi mereka bukan orang sembarang, maka itu, berhubung sama maksudnya yang kedua ini, Ho Tjiang tidak sudi mencari gara-gara. Ini pun maksudnya Tat Sam.
Di antara kawannya Tjek Ho Tjiang ada seorang suci suku bangsa Tibet, yang mengenakan jubah merah, yang tubuhnya besar dan tinggi melebihkan yang lain-lainnya hingga dia lantas menarik perhatian dari siapa juga. Dengan menunjuk kepada pendeta itu, Ho Tjiang kata pada Yo Lioe Tjeng dan Tjee Sek Kioe: “Inilah Tjhong Leng Siangdjin dari Tibet.”
Pendeta itu merangkap kedua tangannya seraya berkata: “Sudah lama aku mendengar nama besar dari tuan dan nyonya, maka itu aku merasa beruntung sekali yang hari ini aku berjodoh bertemu dengan kamu!”
Tuan dan nyonya rumah pun memberi hormatnya, hanya berbareng dengan itu, keduanya segera merasakan desakan suatu tenaga rahasia yang besar yang membikin mereka bukan saja sukar bernapas juga kepala mereka pusing dan mata mereka gelap.
Di saat suami isteri ini hebat mempertahankan dirinya, di antara mereka terdengar tertawa yang nyaring dan aneh iramanya, tidak keras tetapi tajam untuk telinga, hingga si pendeta pun merasakannya, hingga karena herannya, segera desakan tenaga dalamnya jadi berkurang. Ia pun telah mengasih lihat perubahan kulit mukanya.
Tjhong Leng bersama Ho Tjiang segera menyapu dengan sinar matanya ke antara tuan rumah dan rombongannya, selagi mereka itu repot saling memperkenalkan diri, ada yang bicara, ada yang tertawa, Akan tetapi mereka tidak dapatkan orang yang tertawanya aneh itu. Selagi Ho Tjiang heran terus maka Tjhong Leng bercekat hati sebab ia lantas ingat seorang aneh dalam dunia Rimba Persilatan hanya saja ia tidak mau mengutarakan sesuatu.
Kang Lam juga mendapat dengar suara tertawa yang menusuk telinga itu, ia pun tidak kurang herannya, ia menjadi berpikir sebagai Tjhong Leng Siangdjin. Ia merasa kenal suara tertawa itu. Segera ia kata didalam hatinya: “Bukankah dia Kim Sie Ie? Tidak salah! Kalau Kim Sie Ie tertawa, suaranya aneh seperti ini…” Hanya, meski ia menduga demikian, orangnya —— yaitu Kim Sie Ie sendiri —— tidak ia lihat hadir di antara orang banyak itu. Maka ia heran sekali.
Begitu lekas semua orang telah mengambil kursinya, Tjee Sek Kioe berkata kepada Tjek Ho Tjiang: “Taysoe beramai telah berkunjung ke gubuk kami ini, entah ada pengajaran apakah dari pihak taysoe kepada kami?”
Tjek Ho Tjiang berbangkit, untuk berkata kepada Yo Lioe Tjeng: “Yo Toasiotjia, siapakah yang membunuh kakak seperguruanku? Aku minta sukalah kau sendiri yang menjelaskannya!”
Yo Lioe Tjeng menjadi heran sekali. Ia telah menduga orang datang guna menuntut balas buat sebelah tangan dari kakak seperguruannya itu untuk sakit hati dari tiga puluh tahun yang sudah lampau, sedang halnya Tang Thay Tjeng telah menutup mata, ia tidak tahu, maka ia menjadi melengak.
“Aku tidak membunuh kakak seperguruanmu itu,” katanya singkat bahna herannya itu.
Pendeta itu tertawa dingin.
“Dengan kepandaianmu, memang kau tidak nanti sanggup membunuh kakak seperguruanku itu!” katanya. “Aku hanya mau menanya kau, kau telah minta bantuan siapa untuk membunuhnya?”
Yo Lioe Tjeng menjadi gusar. Ia menganggap itulah fitnah hebat.
“Jikalau aku hendak membinasakan dia, sudah tentu aku dapat melakukannya ketika untuk pertama kali aku bertemu dengannya di Tibet!” katanya.
“Aku tahu kau banyak kenalanmu!” kata Ho Tjiang tetap dingin, “karena aku tahu, kau jeri terhadap kakakku itu, kau tentu minta bantuan salah satunya untuk membunuhnya. Tegasnya, kau pasti telah menggunai tipu daya keji. Tidak perduli siapa si pembunuh, karena kaulah si pemegang peranan, kaulah yang mesti bertanggung jawab! Kau tidak mau mengaku tetapi kau mesti mengganti jiwa!”
Yo Lioe Tjeng pun gusar hingga ia mengeprak meja.
“Kau main tuduh…!” ia berseru. “Baiklah, kau boleh maju! Apakah kau sangka aku takut?”
“Sabar!” Tjee Sek Kioe malang di tengah. “Kalau ada bicara, mari kita omongkan dengan baik-baik! Tetamu-tetamu dan tuan rumahnya baru bertemu, mari kita minum dulu tiga cangkir!…”
Belum habis suaranya tuan rumah ini, sudah lantas ada yang menyambuti: “Bagus! Mari aku memberi selamat dulu dengan tiga cawan kepada nyonya rumah!”
Orang yang membuka suara itu ialah Tjek Tat Sam pangtjoe dari Taysan Pang. Dialah orang setempat dan dari antara kawan-kawannya, separuh lebih adalah orang-orang undangannya sendiri, maka itu, dia sebenarnya kepala rombongan tetamu itu. Maka dia menganggap, dialah yang berhak untuk menghormati nyonya rumah. Pula caranya dia memberi selamat itu ada beda daripada umumnya. Tiga cawan arak, yang terisi penuh, ia pegang dengan kedua tangannya, dia mengangsurkan itu kepada Yo Lioe Tjeng dengan cara lemparan, maka ketiga cawan itu melesat ke arah si nyonya dalam kedudukan segi tiga. Yang aneh ialah cawan tidak terbalik, airnya tidak mengeplok jatuh.
Keluarga Yo tersohor untuk kepandaiannya yang dinamakan “Tiattjiang sintan” atau “Peluru Tangan Sakti”, yaitu kepandaian melepaskan senjata rahasia yang berupa peluru, maka selagi pihak tetamu memperlihatkan keliehayannya itu. Yo Lioe Tjeng segera memperlihatkannya. Siang-siang ia telah mengisi penuh juga tiga buah cawan, yang ia telah lantas cekal dan mengangkatnya, dari itu ketika Tjek Tat Sam memberi hormatnya, ia dapat lantas membalaskan. Dengan tawar ia berkata: “Aku tidak kuat minum, tiga cawan tidak dapat aku minum semuanya, maka itu aku membalas menyuguhkan!” Lantas ketiga cawannya dilemparkan.
Luar biasa kesudahannya itu. Tiga cangkirnya Tjek Tat Sam itu terbentur tiga cawannya si nyonya, orang mendengar suara beradunya keenam cawan itu, keenamnya, terpisah menjadi tiga masing-masing, yang tiga balik kepada Tat Sam dan yang tiga lagi mental ke depannya si pendeta jubah merah yang tinggi dan besar itu!
Menyaksikan semua itu, selain pihak tuan rumah, pihak tetamu pun bertepuk tangan bersorak memuji si nyonya, yang ada terlebih liehay daripada Tat Sam.
Tat Sam, dengan terpaksa, menyambuti tiga cawannya dengan mengulur kedua tangannya, tidak demikian Tjhong Leng Siangdjin. Ia ini mengangkat tangannya yang besar dan lebar, ia menggapai, telapakan tangannya dibuka, maka ketiga cawan arak itu, dengan bergantian, seperti terbang ke dalam telapakan tangannya itu, sedang sebenarnya ketiga cawan menuju ketiga jurusan yaitu ke batang hidung serta kedua pempilingan. Maka itu, kepandaiannya pendeta dari Tibet itu menunjuki ia berada lebih atas daripada Tjek Tat Sam dan Yo Lioe Tieng.
Tjek Ho Tjiang menantikan selesainya adu kepandaian itu.
“Nyonya,” ia berkata, “baiklah dibuat penjelasan antara kita, sesudah itu baru dapat kita minum arak dengan gembira. Aku mohon tanya, bagaimana dengan hutang jiwa kakak seperguruanku itu?”
Yo Lioe Tjeng gusar hingga sepasang alisnya terbangun. Terang bahwa orang telah mendesak kepadanya.
“Sudah aku bilang bukanlah aku yang membunuh dia!” ia berkata, keras dan sengit. “Juga aku tidak tahu siapa yang membunuhnya! Jikalau kau paksakan jiwa kakakmu itu dihutangkan kepadaku, apalagi mau dibilang? Tidak bisa lain, terpaksa hendak memohon dipakainya aturan kaum kangouw supaya kau, toahweeshio, memberi pengajaran kepadaku.”
Seorang undangannya Tjee Sek Kioe, ialah seorang tua yang bernama Teng Kian Goan, lantas turut bicara. Ia bertanya: “Aku mohon menanya kepada toahweeshio, kau kata kakakmu telah orang bunuh, Benarkah itu? Kau yang melihat sendiri mayatnya atau cuma karena kau mendengar kabar dari lain orang? Harus diketahui adanya banyak kabar yang keliru.”
“Tahun dulu itu kakakku pergi mencari Yo Lioe Tjeng guna membuat perhitungan,” menyahut Tjek Ho Tjiang, “dia kena dikalahkan oleh orang Thiansan Pay yang diminta bantuannya Yo Lioe Tjeng, setelah itu, tentang kakakku itu tidak ada kabar ceritanya lagi, sampai kemudian aku menerima kabar tentang kematiannya dari Hong Sek Toodjin. Sebagaimana diketahui Hong Sek Toodjin ada orang kenamaan dari Khongtong Pay, maka itu, apakah mungkin kata-katanya itu dusta? Karenanya kalau aku tidak menegur Yo Lioe Tjeng, aku mesti menegur siapa lagi? Aku mau minta penjelasan.”