Debu-debu berterbangan tersapu langkah pasukan berkuda kekaisaran yang melintas menerjang waktu. Padang gersang ini sekejap menjadi pekat oleh kabut coklat yang membumbung sampai ke atas kepala. Suara meringkik, derap kaki kuda yang membuncahkan getar-getar bumi yang kupijak, dari tempat persembunyianku terdengar seperti barisan malaikat maut yang memburu, atau seperti suara bumi yang retak terbelah, dan aku merasakan ujung pedang kematian telah begitu dekat hendak menyentuh kulit leherku. Mereka seperti kesetanan mencariku di setiap sudut kota dan perkampungan. Sebentar lagi barangkali tubuhku akan koyak oleh tajamnya pedang mereka, dadaku tertembus tombak yang akan terasa dingin, perih, ngilu, atau barangkali tak akan berasa apa-apa karena tiba-tiba kematian datang menggantikan rasa. Dan semua perjuanganku akan berakhir, sia-sia.
Ini adalah hari kedua pengejaran yang hanya menyisakan kecemasan di setiap titik pembuluh darahku. Sebuah pelarian yang melelahkan dengan harapan yang hampir habis dimakan ngengat. Sebab sehari yang lalu bagaikan provokator, kerinduan yang bersekongkol dengan keberanian telah menjerumuskanku buat melompati pagar istana dan menemui Li San, putri kaisar yang cantik jelita. Aku merindik-rindik, seperti tikus yang mengintip makanan di atas nampan, lalu menengok ke kanan dan ke kiri karena bisa saja maut ternyata telah begitu dekat dan menyentuh tengkukku dari belakang. Sementara Li San, putri pujaanku tengah mengunggu ditemani sunyi dan kekalutan di dalam benteng yang harus aku taklukkan.
Malam itu, disaksikan rembulan yang tertutup awan, ditemani telaga cinta yang sejuk di dalam dada dan angin gunung yang membawa kantuk para penjaga gerbang-gerbang istana, seperti rusa aku meloncat-loncat dan melintasi atap tanpa suara. Sebab malam itu ada yang bergejolak di dalam dada. Dan kami telah berjanji buat bertemu untuk menumpahkan kerinduan dan harapan yang menghangat disinari mentari, hingga lembab dan gerimis rintik-rintik.
Sampai di istana keputrian, yang kudapati hanyalah senyap dan lalu kegaduhan. Sebab Li San, kau ternyata tidak ada di sana. Dan seperti muncul dari perut bumi tiba-tiba prajurit pengawal keputrian telah mengepungku dari seratus arah. Sementara alam bawah sadarku bergetar, dihantui seribu tanya tentang malam berdarah itu; bagaimana bisa kerinduanku berujung sebuah kepungan maut, bukan senyummu yang menyambutku menorehkan rindu? Dan suara yang dengan sekuat daya aku tentang tiba-tiba berbisik; aku dijebak! Aku dijebak!
Masih dengan tanya dan kegundahan aku menghadapi mereka dengan tinju, tendangan dan rangsang untuk hidup. Meski maut akhirnya menghabisi harapan, aku tak ingin mati dengan membawa misteri besar ini. Sebab Li San tak mungkin melakukannya. Aku mempercayainya seperti langit yang mempercayakan air hujan pada bumi. Sebab ia juga menaruh harapan pada tiap langkahku menuju istana keputrian. Karena ia juga disekap rindu.
Dewa maut rupanya masih bersedia mengampuni kesalahanku hingga akhirnya ia melintas pergi meninggalkan aku dalam lelah dan membiarkanku berlari, berlari dan berlari, dan akhirnya kutemukan tempat persembunyian ini, meski dengan bersimbah luka. Dan beberapa saat lalu, pasukan berkuda melintas di dekatku yang bersembunyi dalam lubang tertutup semak, seperti trenggiling. Sampai beberapa lama aku tak berani beranjak. Dan seluruh darahku seperti tersirap ke atas ketika sekonyong-konyong sebuah pedang selebar paha menyingkap dedaunan yang kupasang buat menutup lubang tempat sembunyi.
Kini sepasang mata nanar dan angkuh telah mengungguku di luar sana dengan senyum beringas dan tawa yang menggetarkan dinding-dinding perbukitan, dan juga jiwaku. Dan sesaat kemudian aku menjadi begitu dekat pada dewa-dewa ke mana aku mohon pengampunan, pada orang tua yang kasih sayangnya seperti angin, pada padang sabana tempat aku bermain dengan saudara-saudaraku, dan juga pada Li San (di manakah kau?).
Di saat pasrah telah bulat menghadapi maut, sebuah tombak meluncur deras tak tertangkis ke arah wajahku. Bersamaan dengan itu seekor cicak terjatuh tepat pada hidungku. Aku terbangun, dan ternyata film Layar Emas Kung Fu Master yang dibintangi Jet Lee telah usai.
Yogyakarta, 23 November 1999