“Ting..ting..ting..ting..” suara bening karawitan yang dimainkan Andi terdengar begitu indah menyelimuti rumahnya. Mengiringi Minggu pagi yang cerah. Tak ada hobi lain yang ia jalani selain memainkan karawitan. Sejak SD, pemuda berkacamata ini sudah gemar memainkan alat musik tradisional dengan ayahnya yang kini sudah meninggal. Bersama sahabatnya, Reza, Andi mengisi waktu senggangnya dengan terus menciptakan irama-irama baru lewat denting karawitan.
Saat ia asyik bermain, Nurman dan Beni bertamu di rumahnya. “Andi, ada teman kamu tuh”, ucap Ibu Andi dari balik pintu kamarnya. “Iya Bu.” Andi meninggalkan karawitan tua itu lalu menghampiri Beni dan Nurman. “Eh, Beni, Nurman, tumben pagi-pagi udah nyampek sini”, ucap Andi. “Iya donk, kita baru jogging An. Sekalian ngajak kamu main bola ntar sore”, jawab Nurman. “Mau nggak?” sahut Beni. “Mmm..Wah aku nggak bisa Ben. Ada janji sama Reza”, jawabnya ragu. “Mau main karawitan lagi?” tanya Nurman.
“Hehe..Iya Ben”, Andi hanya cengar cengir. “Huft.Andi.. Andi..Kapan sih kamu dan Reza berhenti main alat kuno itu? Sekali-kali dong main band”. “Yee..Jangan salah. Di negeri Belanda aja ada fakultas khusus mempelajari budaya Jawa, masak kita mau merapuhkannya”, jawab Andi dengan bangga. Karena Beni dan Nurman kecewa, mereka langsung pamitan pulang. “Lho, kok buru-buru?” ucap Andi. “Males ah sama kamu”, jawab Nurman singkat. Beni dan Nurman meninggalkan Andi, sudah berkali-kali mereka mengajak Andi dan Reza bermain bola. Tapi selalu ditolak. Sampai-sampai mereka dijuluki anak kampung di sekolahnya.
Di sekolah, beberapa menit sebelum bel masuk. Rangga yang terkenal sebagai preman SMAN Cipta itu sudah menunggu Andi dan Reza di depan pintu kelas. Tampak dari kejauhan Andi dan Reza baru saja datang dengan sepeda unta kesayangan Reza. Ketika Andi memasuki kelas, Rangga menodongnya dan memaksa Andi meminjami tugas Matematika dari Pak Tomo. Tapi Andi menolaknya tegas, Rangga merasa tertantang. Dia menarik kerah baju Andi, Reza berusaha membelanya dan pertikaian kecil terjadi. Namun terhenti karena bel masuk telah berbunyi. Akhirnya Rangga diberdirikan di depan kelas karena tidak mengerjakan tugas. Dia merasa dipermalukan di depan teman-temannya. “Brakk!!” Rangga memukul meja Andi saat dia kembali duduk. Tapi Andi tak takut dengan gertakannya, dia mempunyai pribadi yang tegas dan pemberani.
Sepulang sekolah, tiba-tiba Rangga cs menyeret Andi dan Reza ke belakang sekolah. “Hei!! Apa-apaan nih!”, bentak Reza. “Diam kau!! Dasar anak kampung!!” balas Rangga. Tanpa berpikir panjang, Rangga cs mengacak-ngacak isi tas Andi dan Reza. Bahkan karawitan kecil milik Reza pun sempat dilempar sampai rusak.
Kemarahan Reza memuncak, dia membalasnya dengan pukulan, dan Andi berusaha membelanya. “Hei!!” teriak Pak Budi (guru BP) dari kejauhan. Pak Budi segera menghampiri mereka. Sementara Reza dan Andi merapikan isi tas mereka dan memperbaiki karawitan Reza, Rangga cs sudah melarikan diri. “Apa-apaan ini!! Beraninya kalian tawuran!!” bentaknya. “Maaf Pak, tadi kita dikeroyok gengnya Rangga” ucap Andi. “Aah! Lagi-lagi Rangga. Ya sudah, sekarang ikut saya!” “Tapi Pak”, sahut Reza. “Tidak ada tapi-tapian”, balas Pak Budi.
Andi dan Reza dibawa ke ruang BP dan mendapat hukuma skors selama satu Minggu. “Pak, kita kan nggak salah, kenapa kita yang dihukum?” Andi berusaha mengelak. “Sudahlah kamu diam saja. Rangga akan dapat hukuman yang lebih dari kalian”, jelas Pak Budi. Sungguh hari yang sial bagi Andi dan Reza. Pulang sekolah dengan luka-luka, masih mendapat hukuman.
“Reza, kenapa kamu, Nak?” tanya Ibu Reza ketika ia hendak menuju kamar. “Nggak ada apa-apa kok, Bu. Cuma terbentur aja”, jawab Reza santai. “Mana mungkin terbentur sampai seperti ini. Sini biar Ibu obatin.” Ibu Reza menariknya berbalik arah menuju dapur dan mengobati luka Reza dengan air es. “Aduh Bu… Reza nggak apa-apa kok, ini cuma luka biasa”, keluhnya. “Sudahlah, turuti kata Ibu saja. Ya?” sahut Ibunya. “Huft” Reza pasrah. Ibunya sangat menyayanginya karena dia adalah anak satu-satunya. Apalagi dia mempunyai penyakit kanker otak yang sewaktu-waktu bisa kambuh.
Sedangkan Andi tak jauh beda dengan Reza. Ibunya juga sangat khawatir melihat muka Andi penuh benjolan. “Huft..kayak anak kecil aja”, keluh Andi saat Ibunya mengambilkan obat dan makan siang. Andi dan Reza juga sempat mendapat teguran dan omelan dari Ibu mereka karena mereka diskors selama satu Minggu. Tapi siapa yang menyangka? Hukuman skors itu membawa keberuntungan.
Pagi hari saat Andi dan Reza memainkan karawitan di rumah Reza, Pak Maman kepala desanya menawarkan mereka untuk mengikuti pagelaran seni tradisional di Gedung Kesenian Jakarta yang akan dilaksanakan dua hari lagi. Tanpa berpikir panjang mereka langsung menerimanya. Ini adalah kesempatan emas untuk menyalurkan hobi mereka. Dua hari bukan waktu yang lama. Andi dan Reza berlatih keras hingga sore. Lalu bersiap menuju stasiun dan berangkat ke Jakarta. Dengan dukungan dari keluarga, mereka semakin semangat.
“Reza, jaga diri baik-baik ya. Ini obat kamu”, ucap Ibu Reza lirih sebelum dia berangkat ke Jakarta sambil menggenggamkan beberapa obat-obatan untuknya. “Iya, Bu. Do’akan Reza ya”, ucap Reza sembari mencium tangan Ibunya.
Keesokan harinya mereka sampai di Jakarta pukul 3 sore. Suasana stasiun Gambir begitu ramai dengan para penumpang dan pedagang makanan. “Wah.. Rame banget. Gedungnya gede-gede ya?” ucap Reza kagum saat keluar dari stasiun. “Ya iyalah, namanya juga kota metropolitan”, sahut Andi. Mereka beristirahat sejenak di musholla dekat stasiun hingga tertidur pulas karena kelelahan. Tiba-tiba seorang preman mencoba meraih tas Andi secara diam-diam. Untungnya Reza mendengar suara lirih tas yang terseret dan terbangun. “Hei!! Ngapain kamu?!” bentak Reza. Spontan Andi terbangun dan preman itu membawa kabur tas Andi. Mereka berusaha mengejar preman itu sambil berteriak “Maling..maling!!” Warga sekitar stasiun langsung membantu mengejar preman itu. Hingga akhirnya dia tertangkap dan dihakimi masa.
“Huft.. Alhamdulillah tasku selamat”, ucap Andi lega saat meninggalkan kerumunan warga yang memukuli preman itu. Reza hanya diam dan terlihat cemas. “Kamu kenapa, Za?” tanya Andi. “Ternyata kayak gini ya kehidupan kota, penuh kriminalitas”, keluh Reza. “Itu kan cuma kebetulan, kalau kita hati-hati mungkin nggak bakal kayak gini kok.” Reza kembali diam. “Haha..Kamu takut ya? Ah, payah”, sindir Andi. “Yee.. siapa yang takut. Aku berani kok. Reza gitu loh”, jawab Reza angkuh “Yang bener?! Ntar kalau kamu dirampok gimana hayo?” Andi menantang Reza. “Hmmm..Aku tebas lehernya sampai patah, haha..” Mereka berjalan sambil bercanda-canda di bawah mega sore yang semakin tenggelam. Di antara lalu lalang kota yang tak pernah sepi.
Sampai tiba malam hari, Andi dan Reza singgah di sebuah masjid tepi kota. Sambil mengisi waktu kosong, mereka memainkan karawitan kecil yang mereka bawa. Yang paling khas dari cara main Andi dan Reza adalah mereka bisa mengkolaborasikan lagu-lagu pop dan perjuangan dengan karawitan itu. Suaranya amat nyaring, hingga warga sekitar pun tertarik untuk melihatnya, terutama anak-anak kecil. Andi dan Reza memainkan karawitan itu di tengah anak-anak kecil yang sangat menikmati dentingan nyaringnya.
Ustadz Affan, pengurus masjid itu bertanya-tanya asal dan tujuan mereka ke Jakarta. Mereka berbincang-bincang hingga larut malam. Untungnya Ustadz Affan mengizinkan mereka bermalam di masjid itu. Keesokan harinya mereka akan menuju Gedung Kesenian Jakarta. “Ustadz Affan baik ya?” ucap Andi sambil berbaring melihat langit-langit masjid yang penuh kaligrafi. “Iya. Warga di sini juga ramah tamah”, sambung Reza. Mereka kagum dengan kearifan warga di sekitar masjid itu.
Pagi harinya, Andi dan Reza dibangunkan Ustadz Affan untuk segera sholat shubuh. Selesai sholat mereka bersiap menuju gedung kesenian yang lumayan jauh dari masjid itu. Sebelum berangkat mereka sempat berpamitan dengan Ustadz Affan dan mendapat sedikit uang saku darinya. Dengan langkah penuh semangat, mereka berjalan menuju gedung kesenian. Pagi yang cerah diiringi suara lalu lalang metropolitan.
“Wuih.. keren. Ini mimpi nggak sih?” Reza kagum saat mereka sampai di gedung kesenian yang megah dan mewah. “Plakk!!” Andi menampar pipi Reza. “Aw! Sakit tau’!!”, ketus Reza. “Nah nggak mimpi kan?”, jawab Andi singkat. “Uuurgghh..dasar! Awas ya”, Andi hanya cengar cengir.
Mereka langsung mendaftarkan diri, lalu diseleksi untuk ditampilkan malam harinya. Akhirnya mereka lolos. Malam harinya mereka terpilih untuk berkolaborasi musik dengan penyanyi solo Iwan Fals. Meski sempat gerogi, mereka tetap bersemangat, apalagi salah satu di antara tamu undangannya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di tempat lain, keluarga dan teman-teman, dan Pak Budi, guru BP yang sempat menskors Andi dan Reza, melihat penampilan mereka lewat televisi. Mereka tampil dengan sangat lihai. Pak Budi tak menyangka bahwa mereka memiliki bakat yang luar biasa. Begitu pula teman-temannya yang selalu menganggap remeh hobi mereka.
Akhirnya mereka dinobatkan sebagai peserta terbaik dan mendapat penghargaan dari presiden, beserta sejumlah uang penghargaaan. Andi dan Reza terharu dengan apa yang telah mereka dapatkan, begitu pula dengan keluarganya. Betapa bangganya mereka bisa berjabat tangan dengan seorang presiden. Saat kembali ke desa, Andi dan Reza mendapat sambutan haru keluarganya. “Alhamdulillah, Nak. Kamu masih baik-baik saja”, ucap Ibu Reza sambil memeluknya erat. Reza tak kuasa menahan tangis haru. Di sisi lain, Andi juga mendapat sambutan haru dari Ibu dan Neneknya. Namun sayang, Ayah Andi telah tiada, membuat air mata Ibu Andi semakin mengalir deras.
Saat Andi dan Reza kembali ke sekolah. Mereka juga mendapat sambutan meriah dari guru dan teman-temannya. Kejutan indah bagi mereka. Teman-temannya satu per satu memberinya selamat, bahkan ada pula yang memberi hadiah. Kepala sekolah pun memberi suatu penghargaan dan beasiswa khusus.
“Selamat ya Andi, Reza. Kami sangat bangga dengan kalian. Bahkan kami tidak menyangka sebelumnya. Kalian telah mengharumkan nama sekolah ini. Semoga penghargaan ini bisa membuat kalian semakin berkembang”, ucap Kepala Sekolah sembari memberi mereka sebuah penghargaan. “Terima kasih, Pak. Kami juga sangat senang”, ucap Reza sambil menjabat tangan Kepala Sekolah. Namun tiba-tiba Reza jatuh pingsan. Suasana ramai bersorak, dalam sekejap berubah bungkam. Semua mata tertuju pada Reza, mereka semua terkejut. Reza langsung dilarikan ke rumah sakit. Ternyata kanker otaknya kambuh. Andi merasa sangat bersalah karena dia tak tahu bahwa Reza harus banyak istirahat, apalagi saat mereka di Jakarta.
Tak lama kemudian, orang tua Reza datang. Ibunya tak kuasa menahan tangis, begitu pula dengan Andi. “Reza, maafin aku. Aku… aku yang salah”, ucap Andi sambil menangis terisak-isak. Dia yang sejak dulu dikenal tegar, kali ini benar-benar tak bisa menahan kesedihannya, Andi takut kehilangan sahabat satu-satunya. Reza mulai membuka mata dan tersenyum. Dengan tenaga seadanya dia berkata sambil menyodorkan karawitan kecil miliknya, “An…di… Terima ka..sih. A..ku senang jadi sa..habatmu.. Terima..lah karawitan kecil ini. Jaga baik-baik yach..”
“Za.. Aku akan menjaga karawitan ini. Tapi aku mohon, bertahanlah. Allah pasti akan menyembuhkanmu”, ucap Andi. Saat itulah Reza tersenyum lebar dan menghembuskan nafas terakhirnya. “Reza….!!!” teriak Andi. Ayah dan Ibu Reza sangat terpukul atas kematian Reza, anak mereka satu-satunya. Suasana tangis dan haru menyelimuti ruangan itu. Teman-temannya pun juga tak bisa menahan tangis.
Akhirnya Andi melewati hari-harinya dengan karawitan itu tanpa Reza. Setiap dia mendapat tawaran untuk memainkan karawitan, dia hanya menjalaninya sendiri. Meskipun begitu, semangatnya tak akan pudar, karena dia selalu ingat kebersamaannya dengan Reza saat bersemangat memainkan karawitan. Bahkan kini, dia sudah masyhur sampai ke luar negeri dan mengharumkan nama bangsa dengan alat tradisional itu.