(Cerpen (Cerita Pendek): Tetesan Ilmu Pak Deni) – Pak Deni adalah seorang dalang senior yang terkenal di kotaku. Bahkan sampai di luar kota. Kemahirannya memainkan wayang membuat penonton tak mau beranjak dari duduknya, apalagi dengan suaranya yang khas. Tak heran jika dia mendapat penghargaan dari Walikota. Aku pun sangat kagum dengannya, membuatku terinspirasi untuk menjadi dalang sepertinya.
Suatu hari saat Pak Deni selesai mendalang di sebuah desa yang lumayan jauh dari tempat tinggalku, aku ikuti langkahnya pulang, meskipun jauh dan aku harus mengayuh sepeda tuaku, sedangkan dia dan kawan-kawannya menggunakan mobil. Dengan sekuat tenaga ku kejar mobil kuno merah yang ditumpanginya. “Aku harus bisa”, ucapku dalam hati sambil terus mengayuh sepeda.
Akhirnya aku sampai juga di rumah Pak Deni. Mobil itu berhenti di sebuah rumah yang khas Jawanya masih terlihat kental, penuh dengan ukiran kayu, dan terdapat taman kecil di depannya. Membuat suasana rumah terlihat asri. Saat Pak Deni dan kawan-kawannya keluar dari mobil, segera ku taruh sepedaku di seberang jalan dan berlari mengejarnya. “Glubugg..!” Kakiku tersandung dan aku terjatuh. “Aw!!” keluhku. Membuat langkah Pak Deni dan kawan-kawannya terhenti. “Hei!! Siapa kamu?” tanya Pak Deni. Aku hanya meringis sambil berjalan menghampirinya. “Emm… Maaf,Pak. Saya .. ingin berbicara sesuatu pada Bapak”, ucapku gugup. “Bicara apa?” tanya Pak Deni. Jenggot dan kumisnya yang tebal membuatku semakin gugup. ”Mmm… Penting, Pak. Saya ingin belajar dalang sama Bapak”. “Belajar dalang?!” Besok sajalah kamu ke sini lagi, saya masih sibuk”. jawabnya sambil meninggalkanku. “Tapi, Pak…” Aku berusaha membujuknya. “Heh.. Anak kecil! Kamu pulang saja. Pak Deni masih banyak urusan. Pagi-pagi gini bertamu”, sahut Ahmad, salah satu personel grup Pak Deni sambil menghentikan langkahku. Mereka mengabaikanku dan menutup rumah Pak Deni. Betapa kecewa hati ini, aku pulang dengan hati yang kesal.
Sesampainya di rumah, Ibu sudah menungguku sambil memasak. “Hasan, dari mana kamu, Nak?” tanya Ibu saat aku masuk rumah. “Maaf, Bu Hasan baru pulang dari rumah Pak Deni”, jawabku. “Pak Deni?! Dalang yang terkenal itu?” tanya Ibu terkejut. “Iya”, jawabku singkat.
“Untuk apa kamu ke sana? Bukannya sangat jauh?”
“Iya sih, Bu. Hasan ingin berguru padanya. Siapa tahu bisa jadi dalang terkenal”, jawabku sambil berangan-angan.
“Jangan mimpi kamu, sekolah yang bener dulu. Baru jadi dalang.”
“Tapi kan nggak ada salahnya kalau Hasan punya cita-cita”.
“Bukannya Ibu nggak mendukung. Tapi lihat dulu Bapakmu, belajar dalang itu juga butuh biaya. Kalau Bapakmu punya uang ya nggak pa-pa to kamu mau jadi presiden sekalipun”, ucap Ibu. Meskipun Ibu bicara seperti itu, aku tetap yakin suatu saat impianku pasti terwujud. Akan ku buktikan bahwa aku bisa.
***
Keesokan harinya, sepulang sekolah aku kembali datang kerumah Pak Deni. Kebetulan dia sedang menyirami bunga di depan rumahnya.
“Kenapa lagi kamu ke sini?” ketus Pak Deni sebelum aku menyapanya.
“Pak, izinkan saya bicara sebentar. Saya mau bicara penting, Pak”, jawabku penuh harapan. Pak Deni terdiam dan berpikir sejenak.
“Ya sudah. Masuk!” “Alhamdulillah…” ucapku dalam hati. Dengan perasaan senang aku masuk ke dalam rumahnya. Ku pandangi seluruh isi rumahnya. Wahh… semua perabotannya serba ala Jawa. Apalagi diiringi musik gending Jawa.
“Sebenarnya mau kamu apa?” tanya Pak Deni setelah mempersilahkan aku duduk. “Mmm… saya ingin belajar dalang pada Bapak.” “Untuk apa? Kamu kan masih kecil, Le. Waktunya sekolah”, jawabnya lembut. “Tapi, Pak, saya bisa mengimbanginya dengan belajar kok. Saya sangat kagum dengan cara Bapak mendalang”. “Mmmm…berani bayar berapa kamu?” tanya Pak Deni sambil mengelus jenggotnya. Aku hanya diam dan menundukan kepala. “Mm..Maaf, Pak. Saya anak orang miskin. Saya tak punya uang untuk itu”, jawabku gugup. “Huft… Mau belajar ndalang kok nggak punya uang. Di dunia ini nggak ada yang gratis, Le. Kalau kamu mau belajar dalang, ya harus bayar dong. Paling tidak 200 ribu sajalah per bulan”, jawabnya sombong. Sekejap aku langsung merunduk duduk di bawahnya dan memohon untuk mengajariku dalang tanpa biaya. “Tapi, Pak. Saya benar-benar orang miskin, saya tidak punya uang. Saya mohon, Pak, ajari saya mendalang”, ucapku sambil memohon-mohon. “Tidak bisa!! Di dunia ini tidak ada yang gratis. Paham!!” ketusnya. “Baiklah kalau begitu, saya akan membayarnya, tapi dengan uang seadanya dulu, akan saya cicil, Pak. Pliissss…” “Oo… Tidak bisa. Harus kontan dong, memangnya saya bank cicil”, jawabnya sombong.
Akhirnya aku pasrah. Sudah ku rayu sebisa mungkin, tapi Pak Deni tetap minta biaya. Justru dia malah mengusirku. Betapa kecewanya hati ini, dia adalah orang ternama, sayangnya dia sombong. Tapi aku tak mau menyerah begitu saja, seribu satu cara akan ku lakukan untuk bisa belajar mendalang. Ku putuskan untuk mengambil cara lain dengan terus mengikuti langkahnya setiap dia diundang untuk mendalang. Sejauh apapun itu, aku tak pduli. Yang penting aku bisa menguntit dan memperhatikan caranya mendalang. Aku rela pulang malam demi melihat kemahirannya. Hal itu aku lakukan berhari-hari tanpa sepengetahuan Pak Deni. Bahkan aku sampai jatuh sakit karena kelelahan dan Ibu sempat menegurku untuk tidak menguntit Pak Deni lagi. Tapi aku tak akan menyerah, dengan usaha keras aku pasti bisa. Setiap selesai menguntit Pak Deni mendalang, aku selalu mempraktekkannya kembali di rumah, meski hanya dengan wayang yang ku buat sendiri dari potongan kardus.
“Hasan.. Hasan.. Anak Bapak yang cerdas”, ucap Bapak lirih sambil menggelengkan kepala saat melihatku bermain wayang.
***
Setelah hampir 3 bulan aku belajar secara autodidaks, aku merasa kemampuan mendalangku semakin berkembang, meski tak semahir dalang dewasa. Hingga tibalah suatu ketika ada lomba mendalang untuk dalang cilik di kotaku. Dengan semangat tinggi ku persiapkan diri sebaik mungkin untuk mengikuti lomba itu, meskipun hanya bermodal wayang kardus dan kemampuan mendalang yang pas-pasan, tak ada salahnya aku mencoba. Yang membuatku terkejut, ternyata Pak Deni adalah salah satu jurinya. Yap! Inilah kesempatanku untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi dalang yang baik.
Aku tampil dengan cara yang lebih unik dari yang lain, selain menggunakan tokoh-tokoh pewayangan, aku juga memasukkan tokoh Upin Ipin, SBY, mafia pajak alias Gayus Tambunan dan tokoh-tokoh politik lain dengan jalan cerita politik yang terjadi di negeri ini. Semua penonton terlihat sangat menikmati penampilanku. Saat aku memainkan tokoh Upin Ipin, anak-anak kecil bersorak gembira. Ada juga yang berkata, “Ibu.. Upin Ipin, Bu… Aku mau itu”, sembari menunjuk-nunjuk ke arahku. Ketika aku memainkan tokoh-tokoh politik, perhatian penonton kalangan dewasa tertuju ke arahku. Meski sempat gerogi, ku kerahkan seluruh kemampuanku untuk jadi yang terbaik. Tepuk tangan meriah pun mengiringiku saat turun panggung.
Pak Deni terheran-heran, dari mana aku mendapat ide ini, dan dia juga kagum atas penampilanku. Hari yang menyenangkan, senyuman merekah selalu mengiringiku. Akhirnya Allah mengabulkan do’aku. Aku terpilih menjadi pemenang juara 1. Semua penonton bertepuk tangan meriah. Kebahagiaanku tak bisa ku ungkapkan hingga aku meneteskan air mata.
“Wah.. wah.. Hebat juga kamu, Nak. Belajar dalang dari mana?” tanya Pak Deni sambil mengelus rambutku.
“Hehe.. Belajar sendiri, Pak”, jawabku dengan senyum lebar.
“Saya salut sama kamu”, lanjutnya. Aku tersenyum lebar. Akhirnya aku bisa membuktikan pada Pak Deni bahwa aku bisa.
“Horee… Ibu…Hasan dapat juara… Bu.. Pak… Hasan dapat juara”, teriakku saat pulang ke rumah sambil ku kayuh sepedaku kencang. Aku taruh sepedaku begitu saja di depan rumah dan aku berlari masuk rumah sambil berteriak, “Ibu.. Bapak… Hasan dapat juara…” Bapak dan Ibu yang sedang berkebun di belakang rumah terkejut mendengarku dan langsung lari masuk rumah menghampiriku. “Ada apa Hasan?” tanya Ibu. “Hasan dapat juara 1 lomba dalang cilik, Bu”, jawabku senang. “Alhamdulillah..Ya Allah… Bapak dan Ibu bangga padamu, Nak”, sahut Bapak. Bapak dan Ibu memelukku erat. Betapa bahagianya aku mempunyai orang tua yang sangat menyayangiku. Ku berikan sejumlah uang penghargaan dari lomba itu kepada Bapak untuk membantu biaya sekolahku, meski tak seberapa banyak.
***
Keesokan harinya saat aku pulang sekolah, Pak Deni membuatku terkejut. Dia sudah menungguku di rumah. “Loh, Pak Deni? Kok bisa tahu rumah saya?!” tanyaku heran. “Ya tau to. Lha wong saya lihat di formulir kamu kemarin.”
“Kenapa Bapak ke sini?” tanyaku.
“Begini Hasan, Pak Deni ingin kamu bergabung dengan grup dalangnya, karena kata beliau kamu punya potensi yang bagus”, jelas Bapakku.
“Iya, San. Kamu punya improvisasi yang sangat bagus saat mendalang”, lanjut Pak Deni.
“Ow… Gitu”, jawabku singkat.
“Mau nggak?” tanya Pak Deni.
“Mmm.. Berani bayar berapa? Di dunia ini nggak ada yang gratis lho,” jawabku sambil menirukan gaya Pak Deni saat mengucapkan kata itu padaku ketika menolakku belajar dalang. Pak Deni hanya cengar cengir, sedangkan Bapak dan Ibu malah mengerutkan jidatnya karena heran. Suasana terdiam sejenak.
“Gimana, Pak? Mau apa tidak?” tanyaku sedikit angkuh.
“Kamu ini anak kecil ada-ada saja. Pintar sekali menirukan orang tua”.
“Loh, itu kan prinsip panjenengan. Iya to?! Nggak ada salahnya dong kalau saya berprinsip sama. Hehe…” Aku semakin mendesaknya.
“Huft… Iya.. iya.. Nanti saya kasih kamu honor yang besar”. Pak Deni menyerah, aku tertawa cekikikan.
“Hasan, nggak boleh kayak gitu”, tegur Ibu.
“Hehe.. Iya, Bu”.
Akhirnya Pak Deni yang aku idolakan, kini justru mengangkatku menjadi anggota grup wayangnya. Setiap ada undangan, aku dan Pak Deni berklaborasi dengan kompak, membuat semakin banyak peminat wayang. Pak Deni memberiku tugas pada bagian penutup dengan tokoh selain pewayangan yang humoris, sehingga semakin menarik perhatian penonton. Dalam waktu yang tak lama, namaku dan keluargaku dikenal di banyak tempat. Pak Deni sadar bahwa menularkan ilmu tak harus dengan biaya. Makanya dalang bertubuh tinggi besar ini mengadakan les dalang untuk anak-anak dengan biaya murah untuk biaya sarananya. Kehidupanku dan keluargaku menjadi tercukupi, tak perlu hutang-hutang lagi untuk biaya sekolah. Di sekolah pun, teman-temanku juga semakin banyak yang menyukai seni wayang. Bahkan aku dan Pak Deni sempat diundang ke Istana Presiden di Jakarta untuk mendalang. Wah… Sungguh tak pernah ku sangka sebelumnya, aku mendapat penghargaan sebagai dalang cilik pertama di Indonesia. Terima kasih ya Allah…