Agung adalah anak seorang pendalang. Bapaknya sudah melakoni pekerjaan tersebut kurang lebih sekitar 14 tahun. Keluarga Agung termasuk keluarga pecinta budaya, salah satunya wayang. Daerah Yogyakarta provinsi Jawa Tengah adalah daerah dimana Agung tinggal. Pada suatu hari, ” Gung, sini Le!”, panggil Bapak Agung.
“Iya,ono opo Pak?” jawab Agung.
“Le, Bapak sudah tua sudah waktunya Bapak berhenti jadi pendalang dan sekarang giliran kamu yang meneruskan pekerjaan Bapak ini”, kata Bapak Agung sambil menepuk pundak anak semata wayangnya.
“ Hah, opo Pak? Agung harus jadi dalang seperti Bapak? Ya nggak mungkinlah
Pak. Mengko opo omonge konco-konco ku lek Agung jadi dalang? Malu pak. Agung ndak mau pokoknya”, jawab Agung.
“Kamu ini gimana to Le? Kenapa harus malu jadi dalang? Itu pekerjaan halal. Seharusnya kamu sebagai generasi muda harus ikut melestarikan budaya bangsa kita”, jawab Bapak Agung bijak.
“ Bukannya Agung nggak mau Pak, tapi aku malu sama teman-temanku Pak!” tegas Agung pada Bapaknya.
“Kamu ini lo Le.., budaya Indonesia itu harus dilestarikan bukannya malah dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja”, sahut Ibu Agung yang sedang menjahit baju sindennya.
“Terserah Bu, pokoknya Agung ndak mau jadi dalang”, tegas Agung.
Keesokan harinya Bapak Agung tidak membersihkan wayang-wayang koleksinya sepeti biasanya. Beliau masih terbaring di atas tempat tidur dan sulit dibangunkan. Hari itu benar-benar aneh sekali.
Selang beberapa jam ”Hmm,,,Bu Agung mana? Bapak mau ngomong penting sama dia“, suara Bapak terdengar lemah.
“Iya, sebentar Pak Ibu panggilkan”, jawab Ibu Agung.
“ Gung,, Agung di pangil Bapak ni Le”, seru ibu Agung.
“Ada pa to Buk? Bapak kenapa?”, sahut Agung sambil berjalan ke arah kamar Bapaknya.
“Gung, terusin profesi Bapak ya, jangan malu dengan budaya sendiri Nak. Sekarang budaya dan seni pewayangan semakin langka tak ada yang mau meneruskan. Bapak tahu Agung punya bakat seperti Bapak. Kamu harus percaya bahwa dunia menunggumu dengan bakat kamu”, jawab Bapak lirih. Aliran air mata menetes di pipi Bapak Agung. Denyut nadi sudah tidak terasa di tangan, nafas terakhir pun dihembuskan. Bapak Agung meninggal dunia. Ditangannya terdapat dua lembar kertas, satu kertas berisi surat dari dokter yang menerangkan bahwa selama ini Bapak Agung mengidap paru-paru basah yang sudah parah. Kertas kedua berisi sebuah surat yang isinya :
Surat tersebut dipandangi oleh Agung, tanpa terasa tetesan air mata mengalir di pipi Agung. “Ibu,, Bapak meninggal maafin Agung, Pak. Agung janji akan meneruskan profesi Bapak, Agung janji”, teriak Agung sambil memeluk tubuh Bapaknya yang sudah tak berdaya. Sambil menangis, “Sabar Nak. Agung harus bisa memenuhi permintaanan Bapak, kamu pasti bisa Nak”, kata Ibunya sambil memeluk Agung.
Hari demi hari dilewati Agung tanpa Bapak disampingnya. Bapak yang selalu menceritakan kisah pewayangan, Bapak yang mengajarinya cara berdalang walaupun terkadang dia jengkel dengan omongan Bapaknya yang mengajari dia menjadi dalang.
“Nah,, begitu Nak berlatihlah tanpa berputus asa pasti Bapakmu disana akan senang melihat usahamu”, kata ibunya sambil membawakan ketela rebus dengan teh hangat untuk Agung.
“Ya Bu, pasti Bapak senang”, tutur Agung sambil tersenyum.
“Oh iya, besok itu ada acara di tetangga sebelah. Beberapa bulan yang lalu Bapak disuruh untuk mendalang. Tetapi Bapak sekarang sudah tidak ada. Gimana kalau Agung yang menggantikan bapak mendalang?” tanya Ibu Agung dengan hati-hati.
“Hmm,, boleh juga Bu”, jawab Agung dengan antusias.
” Oh, itu bagus Nak tunjukkan kemampuanmu kalau Agung bisa seperti Bapak!” tutur Ibu.
Keesokan harinya Agung sudah berdandan rapi ,“Bagaimana Bu, sudah ganteng belum anak ibu ini?” tanya Agung sambil membenahkan blangkon dan baju dalang Bapaknya yang dipakainya sekarang.
“Waah, ganteng tenan anak’e Ibu persis kayak Bapakmu dulu”, kata ibu Agung sambil tersenyum senang.
Ditempat acara. “Assalamu’alaikum Bapak-Ibu sekalian, sekarang Agung akan menghibur anda semua”, kata Agung gugup.
Pewayangan dimulai, padahal permainannya saat itu cukup bagus, tetapi tetap saja ada yang mengejek Agung “Nak, kalau ndak bisa maen wayang ndak usah main”, ujar salah satu penonton.
” Ya, betul itu kalau ndak bisa main pergi sana”, ujar penonton yang lain.
Agung menunduk malu karena ejekan itu. ”Sabar ya Nak!” kata Ibu sambil memeluk pundak putranya. Akhirnya mereka pulang dengan kesedihan dan rasa malu terutama Agung.
“Agung ndak mau jadi dalang lagi Bu!” kata Agung.
“Agung ndak boleh bilang begitu, itu adalah pengalaman Nak!” kata ibu Agung.
“Ya Bu, ini adalah pengalaman yang gagal dan Agung sudah merasa di permalukan dengan ini semua”, jawab Agung dengan marah.
” Le, ingat apa kata Bapak kegagalan adalah jalan menuju kesuksesan”, tutur Ibu Agung dengan mata berkaca – kaca.
” Agung ndak peduli Bu!” jawab Agung keras. Agung langsung masuk kamar, dia memasukkan baju-bajunya ke dalam tas ransel.
“Le, Agung mau kemana?“ kata Ibu.
” Agung mau pergi dari rumah Bu! Agung malu”, kata Agung sambil pergi meninggalkan rumah dan ibunya.
“Gung, jangan pergi Nak, siapa yang akan meneruskan profesi Bapakmu?” kata Ibu Agung sambil memegang tangan anaknya, tapi kepergian Agung tidak dapat dicegah, kemauannya untuk pergi meninggalkan rumah sangatlah kuat.
Agung pergi dari rumah tanpa arah dan tujuan. Didalam tasnya hanya terdapat 4 pasang baju dan 2 pasang celana. Dompet gambar batik pemberian ayahnya hanya berisikan uang Rp. 50.000,00.
“Apakah cukup dengan uang Rp. 50.000,00 aku bertahan. Huff…berarti aku harus cari kerja”, gumam Agung. Langkah Agung tiba-tiba dihentikan saat ada kakek tua yang membuat wayang dari lidi.
“Hmm, Kek ini semua Kakek yang membuatnya?” tanya Agung kepada Kakek. “Iyo Le, kamu mau tak ajarin?” jawab kakek tua itu. “Kakek mau nggak ngajarin aku membuat ini?” tanya Agung. “Tenan, Le kamu mau tak ajarin? Jarang sekali anak muda seperti kamu mau menyukai budaya Indonesia terutama wayang. Memangnya Bapakmu kerja apa tho Le?” kata Kakek tua. “Bapakku pendalang Kek , tapi beliau sudah meninggal”, jelas Agung. “Innalillahi aku turut berduka Le, ya sudah nanti mau apa ndak tak ajari?” tanya kakek.
“Oh iya Kek,mau sekali, jenengku Agung Suwanto, panggil saja aku Agung,” jawab agung semangat. “Ayo ikut ke rumahku, tak ajari disana”, tawar Kakek tua. “Iya, makasih Kek! Hmm.., Agung boleh ndak numpang di rumah Kakek untuk sementara?” tanya Agung. ”Oh, Kakek malah seneng Le”. kata Kakek sambil tertawa dan berjalan pulang bersama Agung.
Sesampainya di rumah Kakek.
“Weleh-weleh Kek, rumah Kakek banyak sekali wayangnya, ini semua Kakek yang membuatnya?” tanya Agung sambil tercengang memandangi rumah Kakek yang kecil tapi penuh dengan wayang.
”Iya Nak,sejak dulu Kakek sudah terbiasa membuat wayang sendiri”, jelas Kakek.
”Wah Kakek hebat tenan!” kata Agung tercengang. Hari demi hari dilalui Agung di rumah kakek. Dia belajar membuat wayang. Ternyata hasilnya tak sejelek yang di bayangkan oleh Agung.
Setelah beberapa hari Agung menginap di rumah Kakek,
”Le, ayo makan dulu”, suruh Kakek tua itu.
”Iya Kek”, jawab Agung sambil menuju tempat makan.
”Gung, bukannya Kakek mengusir kamu, tapi apakah Ibumu di rumah tidak kangen dengan kamu Nak? Kamu sudah tiga minggu di sini dan pastinya Ibumu resah memikirkan kamu. Lagi pula teman – temanmu pasti juga mencarimu”, tutur Kakek tua kepada Agung.
” Iya Kek, itu benar tapi Agung takut gagal. Kalau gagal Bapak Agung disana pasti kecewa. Agung juga ndak mau bikin malu Ibu lagi”, jawab Agung.
“Gung, kegagalan itu kunci kesuksesan, kalau kita tidak gagal kita juga tidak akan sukses”, nasehat Kakek tua.
“Iya Kek, Ibu Agung juga pernah bilang begitu. Tapi kalau nanti Agung pulang apakah warga tidak lagi mengejek Agung karena permainan wayangku yang jelek?” katanya sambil menerawang.
Sambil tertawa kakek berucap, ”Kakek dulu juga sama seperti kamu Gung, dulu warga sering mencaci dan mengejek Kakek, katanya wong ndak bisa main wayang kok mau jadi dalang. Waktu itu Kakek juga sangat merasa sedih, rasanya Kakek putus asa. Tapi Kakek selalu ingat nasehat Ibu Kakek, kalau Kakek gak boleh putus asa karena kegagalan adalah kunci kesuksesan. Kata-kata itu yang selalu di ucapkan oleh Ibu Kakek,” cerita Kakek. “Kakek betul juga, sekarang Agung harus pulang dan meneruskan apa yang Bapak inginkan. Kalau begitu Agung pulang dulu ya Kek”, kata Agung dengan antusias. “Habiskan makananmu dulu Nak, nanti baru kamu boleh pulang”, tutur Kakek. Dengan lahap Agung menyantap makanan yang dihidangkan di hadapannya. “Kek, Agung pulang dulu ya? Terimakasih atas kebaikan Kakek selama ini”, pamit Agung. ” Ya, sama-sama. Hati-hati ya Le, kakek do’akan usahamu menjadi dalang berhasil”, doa Kakek.
“ Ya Kek, amiiin. Agung pulang dulu, Assalamu’alaikum”, pamit Agung sambil meninggalkan Kakek. Diperjalanan, tanpa sengaja dia menemukan koran yang jatuh di jalan. Apa ini? Hah..gak mungkin ini! Wayang milik budaya Indonesia, bukan milik Negara lain. Tiba – tiba Agung merasa gusar, dia mempercepat langkahnya ke rumah.
“Assalamu’alaikum Buk Agung pulang!” teriak Agung dari luar sambil masuk kedalam rumah. “ Waalaikum salam….anakku Agung. Kamu kemana aja to Le……Ibu kangen”, kata ibu Agung sambil memeluk anaknya.
“Bu….., maafin Agung ya….. Agung kemarin egois?” pinta Agung pada Ibunya.
“Ibu sudah maafin Agung. Bagaimana keadaan kamu? kemana saja kamu selama ini Nak?”, tanya ibu dengan penasaran.
“ Alhamdulillah Agung baik – baik saja Bu, selama ini Agung tinggal dengan seorang Kakek yang baik hati, beliau merawat dan menjaga Agung dengan baik”, ungkap Agung sambil menenangkan Ibunya.
“ Syukurlah Nak,.. Oh, iya mengenai amanat Bapakmu, ndak usah terlalu difikirkan ya Le, Ibu ikhlas kalau memang kamu tidak mau menjadi penerus Bapakmu”, tutur Ibunya dengan wajah yang serius.
“Tapi Bu, mulai sekarang Agung ingin menjadi dalang. Agung ingin seperti Bapak“, katanya meyakinkan.
“Sebagai generasi penerus bangsa Agung merasa harus ikut memajukan dan melestarikan budaya Indonesia terutama pewayangan yang sekarang telah di klaim milik Negara lain Bu”, kata Agung tegar.
“Ibu bangga sama kamu Nak”, kata ibu Agung terharu.
Keesokan harinya Agung bangun pagi-pagi sekali, kemudian mengeluarkan wayang-wayang peninggalan ayahnya dan juga wayang hasil buatannya sendiri. Dia membersihkan dan menata rapi wayang-wayang tersebut di tempat ayahnya biasa mendalang. Setelah selesai dia membuka lebar pintu depan. Kemudian memasang spanduk lebar yang bertuliskan “ SANGGAR PEWAYANGAN ”. Dan dibawah tulisan tersebut terdapat kalimat yang bertuliskan “ Sebagai Generasi Muda mari kita lestarikan Kebudayaan Indonesia”. Kemudian Agung menyebarkan brosur yang berisi ajakan untuk selalu melestarikan budaya bangsa lewat orang-orang dan menampilkannya di internet juga ditelevisi. Nama Agung pun menjadi semakin terkenal dengan sebutan “Dalang Muda”. Untuk memantapkan usahanya tersebut Agung mendaftarkan wayang sebagai seni budaya Indonesia kepada UNESCO. Sementara menunggu hasil keputusan UNESCO, Agung semakin giat menyebarkan semangat menjaga seni wayang dengan memainkannya sampai lintas Jawa-Bali. Nama Agung pun semakin terkenal.
Setelah menunggu beberapa bulan, Agung mendapatkan surat dari UNESCO bahwa seni wayang sudah di patenkan. Membaca surat tersebut Agung tersenyum senang, dia merasa yakin ayahnya pasti bangga dengan usahanya selama ini.
“Pak,, Agung ternyata bisa meneruskan perjuangan Bapak”, bisik Agung dalam hatinya.
Sekarang semakin banyak anak muda yang ikut masuk kedalam sanggarnya. Agung juga melatih para kaum muda yang ingin menjadi dalang, atau yang hanya ingin mengetahui lebih dalam tentang kebudayaan Indonesia.
Semakin banggalah ibu Agung atas prestasi yang telah di ukir oleh anaknya. Agung pun merasa semakin tertantang untuk mengajak kaum muda agar selalu melestarikan budaya bangsa. Dan benar saja, berkat ketekunannya, Agung menjadi dalang yang sukses sampai mancanegara.